Jika anda sedang membuka akun fb dan ingin mengirim alamat posting ini kedinding anda, silahkan klik jempol dibawah:
Tunisia bermula, lanjut ke negeri Piramida, “angin revolusi” bergerak ke Libya, Bahrain, Yaman bahkan Maroko dan Aljazair. Oman yang diperintah Sultan Qabus-pun merasakan “angin” ini. Ada apa denganmu Timur Tengah ? Apa yang sedang terjadi di Timur Tengah ? Mengapa anak-anak muda di Negara-negara Arab tersebut bangkit dan melawan “orang tua” mereka ? Sebagaimana halnya hakikat sebuah revolusi, sebagaimana yang dikatakan Hannah Arendt – “sebuah revolusi itu sangat inspiratif, begitu mudah melenakan orang tanpa sempat orang memikirkan secara rasional implikasi logis yang mungkin harus diterimanya”. Sehingga janganlah kita heran bila sebuah revolusi akan membuat implikasi besar, minimal keterkaguman terhadap geloranya. Lihatlah, semenjak Revolusi Islam Iran – “revolusi para Mullah” – Revolusi Jasmine Tunisia - Revolusi Sungai Nil, banyak merubah psikologi anak muda. Apa yang terjadi Tunisia dan Mesir serta negara-negara Arab sekarang ini, bisa secara live ditonton dan dihayati masyarakat dunia. Rasa empati “menjalar”. Apa yang membuat rasa empati ini menjalar ? – diluar ikhtiar media massa yang membentuk opini publik.
Untuk memahaminya, nampaknya kita tidak bisa melepaskan diri dari perspetif sejarah dan social politik. Kita nampaknya harus kembali ke zaman sesudah Perang Dunia Pertama. Perang ini telah mendegradasi pengaruh Imperium Ottoman (Turki Utsmany) nan fenomenal itu. Inggris kemudian muncul sebagai penguasa utama. Imperium Ottoman yang mulai lemah tidak bisa secara maksimal menjaga tanah-tanah taklukan mereka dari Istanbul hingga Rabat, Maroko di Afrika Utara. Banyak daerah taklukan ini luput dari “kawalan” Kekhalifahan Ottoman. Maroko jatuh ke tangan Spanyol, Libya masuk dalam genggaman Mussolini-Italia. Tunisia dan Aljazair menjadi taklukan Perancis, sedangkan Mesir dikuasai Inggris. Syiria dan Lebanon secara politik berada dibawah kekuasaan Perancis. Sejarah kemudian mencatat, Keluarga Saud ditabalkan oleh Inggris tahun 1932 di Semenanjung Arab. Irak dan negara Teluk dipecah-pecah untuk tujuan – pecah dan perintah. Inggris sebagai sebagai salah satu neagara colonial berpengaruh pada masanya, menjalankan praktek paling asali dari kolonialisme, mengadu domba satu negara Arab dengan yang lain. Kolonialisme, kata Noam Chomsky, merupakan hasil dari perkembangan kapitalisme. Pasar dan pemasaran merupakan kata kunci kolonialisme, sekaligus juga asumsi dasar dari kapitalisme. Kekuasaan imperialism dan kaum pemodal memerlukan bahan mentah dari tanah jajahan mereka, sekaligus menjadi konsumen dari produk yang telah dibuat. Hukum dan syarat ini tak lekang dan tak pernah berubah.
Tahun 1938, dunia Arab berubah. Minyak untuk kali pertama ditemukan di Saudi Arabia. Karena gula, semut-pun berdatangan. Penemuan minyak ini telah mengundang datangnya perusahaan-perusahaan minyak dari luar Arab. Bila Saudi Arabia adalah pucuknya, pasti dahannya banyak bercabang. Akhirnya, perusahaan-perusahaan minyak ini berlomba-lomba melakukan penggalian. Benarlah kiranya, dahan minyak yang pucuknya di Saudi Arabia ini ternyata banyak. “Emas hitam” kemudian dijumpai di negara-negara Teluk, Iran, Irak, Libya, Mesir dan Aljazair. Penemuan minyak ini membuat sistem ekonomi kapitalis berkembang pesat. Minyak telah menjadi bahan yang teramat strategis. Bahkan beberapa kajian sejarah mengetengahkan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Dunia ke-2 meletus, berawal dari perebutan bahan bakar minyak ini. Jerman yang kalah pada perang Dunia pertama, tidak mau ketinggalan dalam upaya menaklukkan tanah Arab. Jerman tak memiliki sumur minyak karena itu, ekonomi Jerman tidak akan berkembang. Hitler kemudian kemudian mengambil keputusan untuk melancarkan peperangan. Konon, setelah perang pecah, Hitler berusaha merampas telaga-telaga minyak di negara-negara Arab yang dimiliki oleh Inggris. Perang bergejolak. Bahan bakar minyak inilah yang menjadi hukum dan syarat yang menjadikan suasana di Timur Tengah terus hangat dan menggelegak semenjak 60 tahun lalu hingga sekarang.
Setelah Perang Dunia ke-2 usai, ekonomi Inggris mengalami kemerosotan. Bak pendulumnya “siklus” Ibnu Khaldun, kekuasaan Inggris bak kekuasaan Ottoman dahulu. Beberapa daerah jajahan menuntut kemerdekaan. India, misalnya, yang merupakan tanah jajahan terkaya Inggris, merdeka tahun 1947. Di Semenanjung Malaya, Partai Komunis Malaya “bergejolak” terhadap Inggris. Di Kenya, Gerakan Mau Mau pada tahun 1952, juga mengangkat senjata melawan Inggris. Mensikapi kemerosotan kekuasaan politik sedemikian ini, tahun 1948 Inggris kemudian bekerjasama dengan Amerika Serikat – untuk mendirikan apa yang dinamakan dengan Negara Israel - di bumi Palestina. Israel sebenarnya telah ditanamkan ke dalam dunia Arab. Tujuan didirikannya negara Israel ini adalah untuk memastikan satu pangkalan militer yang tersusun rapi akan terus menerus eksis di Timur Tengah. Pangkalan militer ini bertujuan untuk menjaga dan mengawal sumur minyak. Israel bak kata Edward Said, akhirnya menjadi “perpanjangan tangan” Anglo-Amerika. Negara yang diproklamirkan Ben Gurion ini dipersenjatai penuh oleh Anglo-Amerika. Hari ini Israel dianggapsebagai Negara yang memiliki kekuatan militer terbesar dan tercanggih di Timur Tengah. Semua ini untuk memastikan negara-negara Arab produsen minyak tidak akan berani melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh Presiden Nasser – menasionalisasikan Terusan Suez pada tahun 1956 dan Raja Feisal - menutup eksport minyak pada tahun 1974. Dari strategi jangka panjang Anglo-Amerika ini, telah membuat semua negara Arab sebagai “tanah jajahan baru”. Negara-negara Arab ini menjadi pelayan Anglo-Amerika. Dalam masa yang sama Israel sebagai “hantu” akan terus menakut-nakuti negara-negara Arab ini. Maka akhirnya hukum jualbeli berlaku …… Apabila negara Arab takut maka tidak dapat tidak, negara Arab akan membeli senjata dari Inggris atau Amerika atau-pun Perancis.
Selama lebih kurang 50 tahun, strategi inilah yang dilakukan oleh kaum imperialis, setidaknya demikian yang pernah diutarakan oleh Noam Chomsky dan Edward Said. Minyak dan gas disedot dari “tanah” Arab, uangnya digunakan untuk beli senjata – walau sebenarnya pasti banyak juga dialokasikan untuk kepentingan rakyat mereka, tapi tetap pembelian senjata yang sangat tidak proporsional, memperkuat asumsi ini. Dalih mempertahankan diri dari Israel yang di-“hantu”-kan itu, pembelian senjata terus di-update. Bila kepentingan terjaga, maka mereka dimasukkan dalam kategori “kawan”. Lalu lihatlah, kala praktek demokrasi dan hak asasi Manusia tak berjalan bagus di negara-negara, Amerika Serikat dan Inggris tetap tidak ambil peduli, karena memang itu tadi …. Kepentingan mereka akan lebih terjaga dengan kondisi demikian, walau untuk kasus-kasus yang lain, seumpama Iran, Amerika Serikat dan Inggris akan berteriak lantang tentang praktek demokrasi, HAM dan nuklir. Padahal dibawah “ketiak” mereka, tiga persoalan ini terlihat sebesar “gajah”.
Lalu mengapa para rezim Arab ini tunduk dan takut ? Jawabannya simple. Pakar Timur Tengah LIPI, Riza Sihbudi, mengatakan bahwa mayoritas semua rezim di tanah Arab tersebut tidak memiliki otoritas dari rakyat. Dari Maghribi hingga ke negera-negara Teluk, para pemimpin, Sheikh dan Malikul Negara-negara ini dinaikkan ke atas tahta bukan karena dukungan mayoritas rakyat mereka, tapi lebih karena dukungan Anglo-Amerika. Saudi Arabia dan Yordania, misalnya, Inggris yang meletakkan “tahta” mereka. Memang betul ada beberapa negara, seperti Mesir, Irak atau Syria telah mengadakan Pemilihan Umum – tetapi semuanya sandiwara. Pemilu ataupun apalah namanya di bebeberapa negara teluk, lebih mirip dagelan. Itu bukan kata saya. Semua ilmuan politik yang intens pada kajian Timur Tengah mengatakan hal demikian."> Yang pasti, kontradiksi utama adalah diantara warga Arab dengan regim - regim Arab yang telah menjadi “perkakas” Anglo-Amerika plus Israel. Penentangan warga Arab ini juga bermakna bahwa mereka juga menentang Anglo-Amerika dan regim zionis Israel. Melawan Mubarak, Ben Ali,Bani Saud, Al-Makhtoum, Sultan Qabuus, sama seperti melawan pengaruh Anglo- Amerika dan zionis Isreal. Kita akan lihat satu kontradisi baru akan muncul. Pengaruh Anglo-Amerika akan memastikan regim zionis Israel selamat. Dan kekuasaan “imperium” ini juga akan memastikan aliran minyak tidak terputus, tetap “mengalir”. Tidakkah Irak diminati Bush hanya karena sumur minyak mereka. Tidakkah Obama yang lagi dihujat rakyatnya karena melancarkan serangan udara ke Libya dan Sarkozy yang panic karena Saef al-Islam bin Khaddafi membuka “borok” politiknya, bahu membahu membombardir Tomahawk ke Tripoli Libya hanya karena ingin memastikan minyak tetap mengalir normal ?
Sumber : Ilham Fadli
Kolonel Moammar Qadhafi : Sang Revolusioner Yang Diguncang Revolusi
Berawal dari Benghazi, 42 tahun silam. Kapten Muammar Qadhafi memimpin sejumlah tentara muda melakukan kudeta. Saat itu, Raja Idris I sedang berobat di Turki, sehingga perebutan kekuasaan berlangsung tanpa pertumpahan darah. Ketika itu, Qadhafi muda mendapat dukungan rakyat. "Kami pikir, revolusi Qadhafi demi kebebasan dan hak asasi manusia," kata Fathi Baja, warga Benghazi yang mendukung langkah Qadhafi saat itu. Ironisnya, 42 tahun kemudian, ia kembali ikut revolusi, tapi kali ini untuk "memecat" Qadhafi. "Setelah empat dekade, yang ada hanya kekacauan," ujarnya. "Yang ada kediktatoran yang brutal." Dipimpin Qadhafi, yang lahir dari keluarga Badui pada 1942, Libya menjadi begitu terkenal. Dia menyediakan surga bagi para penentang Barat. Di bawah kepemimpinannya, tak ada presiden ataupun perdana menteri. Dia juga tak mengangkat diri menjadi jenderal, tapi hanya kolonel. Qadhafi cuma menyebut diri sebagai pemimpin dan pengarah.
Pada 1970-an, ia mengeluarkan "Buku Hijau" yang menggabungkan sosialisme, kapitalisme, dan Islam untuk mengatur negerinya. Buku ini seolah menjadi konstitusi yang tak pernah ada selama kepemimpinannya. Dia juga mendeklarasikan sistem "jumhuriyah": kekuasaan ada di tangan rakyat. Implementasinya, kekuasaan berada di tangannya sendiri. Dengan cepat Qadhafi terlena. Dia tidak mau ada ancaman terhadap kepemimpinannya. Sebanyak 10-20 persen rakyat Libya dijadikan mata-mata di berbagai sektor kehidupan. Kebebasan yang diimpikan Fathi Baja dan teman-temannya lebih dari empat dekade silam tak pernah terwujud. Berbicara dengan orang asing pun bisa diganjar penjara selama tiga tahun. Tak ada kebebasan pers. Penghilangan orang pun kerap terjadi. Hubungan Libya dengan masyarakat internasional pun tak mulus. Pada 1980-an, Qadhafi menyediakan kamp latihan bagi kelompok-kelompok pemberontak di Afrika Barat. Sang pemimpin revolusi juga menggelontorkan dana bagi berbagai kelompok perjuangan di beberapa negara, seperti Angkatan Bersenjata Republik Irlandia, Brigade Merah Italia, dan Organisasi Pembebasan Palestina. Libya dituding mensponsori serangan terhadap Barat, termasuk pengeboman di Jerman dan pembajakan pesawat Pan Am 103 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia. Semua itu membuat Libya terisolasi. Beragam sanksi dari masyarakat internasional membuat negeri itu terpuruk. Belakangan Qadhafi melunak. Libya memberikan kompensasi besar kepada keluarga korban Lockerbie. Qadhafi berjanji tak akan mengembangkan senjata pemusnah massal. Amerika dan negara Barat lain kembali bermanis muka. Tapi kali ini ancaman datang dari rakyatnya sendiri. Kesabaran rakyat Libya sudah habis atas sikap otoriter Qadhafi. Kini giliran sang revolusioner yang digoyang revolusi.
Pada 1970-an, ia mengeluarkan "Buku Hijau" yang menggabungkan sosialisme, kapitalisme, dan Islam untuk mengatur negerinya. Buku ini seolah menjadi konstitusi yang tak pernah ada selama kepemimpinannya. Dia juga mendeklarasikan sistem "jumhuriyah": kekuasaan ada di tangan rakyat. Implementasinya, kekuasaan berada di tangannya sendiri. Dengan cepat Qadhafi terlena. Dia tidak mau ada ancaman terhadap kepemimpinannya. Sebanyak 10-20 persen rakyat Libya dijadikan mata-mata di berbagai sektor kehidupan. Kebebasan yang diimpikan Fathi Baja dan teman-temannya lebih dari empat dekade silam tak pernah terwujud. Berbicara dengan orang asing pun bisa diganjar penjara selama tiga tahun. Tak ada kebebasan pers. Penghilangan orang pun kerap terjadi. Hubungan Libya dengan masyarakat internasional pun tak mulus. Pada 1980-an, Qadhafi menyediakan kamp latihan bagi kelompok-kelompok pemberontak di Afrika Barat. Sang pemimpin revolusi juga menggelontorkan dana bagi berbagai kelompok perjuangan di beberapa negara, seperti Angkatan Bersenjata Republik Irlandia, Brigade Merah Italia, dan Organisasi Pembebasan Palestina. Libya dituding mensponsori serangan terhadap Barat, termasuk pengeboman di Jerman dan pembajakan pesawat Pan Am 103 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia. Semua itu membuat Libya terisolasi. Beragam sanksi dari masyarakat internasional membuat negeri itu terpuruk. Belakangan Qadhafi melunak. Libya memberikan kompensasi besar kepada keluarga korban Lockerbie. Qadhafi berjanji tak akan mengembangkan senjata pemusnah massal. Amerika dan negara Barat lain kembali bermanis muka. Tapi kali ini ancaman datang dari rakyatnya sendiri. Kesabaran rakyat Libya sudah habis atas sikap otoriter Qadhafi. Kini giliran sang revolusioner yang digoyang revolusi.
Sumber : Ilham Fadli
USA Dan Barat Membuka Pintu Perang Dunia Ketiga
Pertikaian politik, perang saudara, perang antar suku, bahkan perbedaan akidah bisa jadi menjadi peluang emas buat zeonisme masuk kedalamnya. Zeonisme sampai kapanpun senang mencari kelemahan, bahkan bisa menciptakan kelemahan dari keutuhan suatu negara yang berdaulat.
Hal ini sudah banyak terlihat jelas dihadapan kita. Irak, Iran, Afganistan, Pakistan, Palestina dan sekarang Libya. Besok mana lagi yang jadi target zeonisme ?. Bisa jadi Mesir juga incaran selanjutnya, karena Mesir juga punya gejolak pertikaian politik yang dasyat didalamnya. Setelah itu Tunisia.
Tentara Libya Menembaki Pesawat-pesawat Tempur Sekutu Yang Tengah Membombardir Kota Tripoli, Libya
Kalau sudah seperti ini, Zeonis bersama sekutu-sekutunya bakal lebih kaya dan banyak proyek perangnya. Ya hitung-hitung bisa dapat wilayah gratis buat uji senjata baru para negara zeonis. Dan bila berhasil menjatuhkan keutuhan kedaulatan suatu negara, maka proyek selanjutnya menciptakan boneka sekutu dan meraup sebanyak-banyaknya kekayaan alam dari negara yang ditumbangkan tadi.
Kini kita tengah dipertontonkan peristiwa yang masih sangat baru dan mencengkan dunia Internasional. Terlebih di dunia Islam pada khususnya. Sementara bagi umat Islam beranggapan serbuan sekutu bukan sekedar mencari sensasi ataupun penegakan demokrasi di Libya. Justru ingin Libya hancur dan mengambil keuntungan dari kehancuran Libya nantinya, yaitu menciptakan boneka-boneka zeonisme dan merampas semua hak warga negara Libya itu sendiri.
Pesawat Jet Tempur Sekutu Siap Membumi Hanguskan Libya
Sumber daya alam Libya ternyata banyak terkandung didalamnya, seperti minyak bumi, gas, emas, batu bara, timah dan lain sebagainya. Itulah salah satu dari sekian banyak sumber alam Libya yang menjadi incaran Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya. Dan dari sinilah bakal terjadi lagi lahirnya para terorisme baru yang anti Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Bisa boleh jadi Indonesia bakal pula jadi incaran para terorisme baru tersebut, pasalnya pemerintahan Indonesia berkiblat pada Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Dibalik gencarnya Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya membombardir Libya dari segala penjuru, dibalik jendela lain pun Amerika Serikat bermain lidah manisnya sekarang.
Dari sumber terpercana terlansir Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Robert Gates, Senin 21 Maret 2011, mengatakan bahwa Libya akan lebih baik tanpa Moamer Gaddafy berkuasa. Tapi terserah rakyat negara itu untuk memutuskan. Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita Rusia Interfax, Gates menekankan kembali pandangan pemerintah AS bahwa intervensi militer Barat terhadap rezim Libya tidak memiliki tujuan eksplisit untuk mengusir Kadhafi dari kekuasaan.
Inilah manisnya lidah Amerika Serikat berucap kepada dunia untuk lebih menarik simpati atas sepakterjangnya. Tapi dibalik semua itu ternyata Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanannya Robert Gates menegaskan dengan setegas-tegasnya kepada dunia Internasional dan dunia Islam bahwa, “tidak bijaksana” untuk menjadikan Gaddafy target dan menilai hal itu bisa merusak koalisi yang mendukung intervensi militer. Mengulang pendapatnya kepada pers, Minggu 20 Maret 2011, kepala pertahanan AS mengatakan bahwa dia berharap negara-negara lain memimpin operasi militer dalam beberapa hari.
Kadhafy Kelelahan Memikirkan Negerinya Dan Kekuasaannya
Sungguh naif Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Lalu bagaimana janji Barack Obama sendiri yang pernah terlontar saat dia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Dirinya ingin menjalin hubungan yang lebih harmonis dan penuh perdamaian dengan dunia Islam. Tapi ucapan tinggal ucapan yang manis di bibir Obama sang presiden negeri Paman Sam. Irak masih diperangi, Afganistan masih digrogoti, Palestina masih ditutup pintu kebebasan untuk merdeka, sekarang Libya juga diacak-acak. Inilah Zeonisme dan mahlkuk-mahlkunya yang selalu berlidah manis dan bercabang.
Presiden AS Barack Obama Yang Manis Dibibir Mau Damai Dengan dunia Islam, Semua Tinggal Isapan Jempol Saja..
Dunia siap memasuki pintu gerbang menuju peristiwa terdasyatnya kembali, inilah bakal awal terjadinya Perang Dunia Ke Tiga, di mulai dari daratan benua Afrika yang terpokus pada Libya. Dan Libya siap mengalami perubahan iklim kehancuran dari cakar-cakar beracun zeonisme Amerika Serikat dan Barat. Maka tinggallah negara-negara lain lambat laut pasti terlibat alam persoalan ini. Dan pastilah ada Pro maupun Kontra…
Sumber : Syaifud Adidharta
Sangat luar biasa isi dari blog ini thanks ya gan.
BalasHapus