Jika anda sedang membuka akun fb dan ingin mengirim alamat posting ini kedinding anda, silahkan klik jempol dibawah:
Biografi Sutan Syahrir
Sutan Syahrir adalah nama populer dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia sosok yang cerdas, intelektual muda, jurnalis handal, diplomat, aktivis politik, perdana menteri termuda di dunia, seorang sosialis sejati, revolusioner tetapi anti kekerasan. Namanya akan tetap terukir sebagai salah satu tokoh penggagas sumpah pemuda, perencana proklamasi kemerdekaan RI dan arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer.
Nama
|
Sutan Syahrir
|
Tanggal Lahir
|
5 Maret 1909
|
Tempat lahir
|
Padang Panjang, Sumatera Barat
|
Orang tua
|
Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah
|
Meninggal
|
Zürich, Swiss, 9 April 1966
|
Makam
|
TMP Kalibata, Jakarta
|
Pendidikan
|
Sekolah Dasar (ELS)
|
Sekolah Menengah (MULO) Medan (1926)
| |
Sekolah Lanjutan Atas (AMS) di Bandung
| |
Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam.
| |
Aktivitas selama menjadi pelajar dan mahasiswa
|
|
Aktivitas Politik
|
|
Karya
|
|
Kiprah Perjuangan Sutan Syahrir
Sutan Sayahrir terjun dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak dalam masa pendidikan AMS di Bandung. Setelah itu perjuangannya berlanjut ketika menjadi mahasiswa di Belanda. Ia merupakan tokoh yang berhaluan sosialis. Syahrir aktif dalam organisasi Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.
Tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru). Ia kemudian menjadi ketua pada bulan Juni 1932. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Pemerintahan kolonial Belanda menganggap gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal dibandingSoekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya. Ia juga dekat dengan kaum buruh sehingga pada bulan Mei 1933 ia di tunjuk menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Pada Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Pada masa pendudukan Jepang terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno dengan Syahrir. Soekarno dan Hatta lebih bersifat kooperatif dengan pemerintah Jepang, sementara Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Ketika Jepang kalah dalam Perang dunia II, Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus. Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta berpandangan bahwa sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945. Perbedaan ini menyebabkan terjadinya peristiwa Rengasdengklok (peristiwa penculikan Soekarno oleh para pemuda). Akibat peristiwa ini Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Di masa revolusi, Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi. Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Bulan November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, Ia memulai memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Ketika menjabat Perdana Menteri, Ia pernah diculik oleh sekelompok orang yang tidak puas dengan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda yang menyebabkan kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jawa dan Madura. Penculikan tersebut pada 26 Juni 1946. Kelompok penculik disinyalir di pimpin Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. Tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru). Ia kemudian menjadi ketua pada bulan Juni 1932. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Pemerintahan kolonial Belanda menganggap gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal dibandingSoekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya. Ia juga dekat dengan kaum buruh sehingga pada bulan Mei 1933 ia di tunjuk menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Pada Februari 1934 pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun.
Pada masa pendudukan Jepang terjadi perbedaan pandangan antara Soekarno dengan Syahrir. Soekarno dan Hatta lebih bersifat kooperatif dengan pemerintah Jepang, sementara Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Ketika Jepang kalah dalam Perang dunia II, Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus. Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta berpandangan bahwa sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945. Perbedaan ini menyebabkan terjadinya peristiwa Rengasdengklok (peristiwa penculikan Soekarno oleh para pemuda). Akibat peristiwa ini Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Di masa revolusi, Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi. Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Bulan November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, Ia memulai memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Ketika menjabat Perdana Menteri, Ia pernah diculik oleh sekelompok orang yang tidak puas dengan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda yang menyebabkan kekuasaan Indonesia hanya meliputi Jawa dan Madura. Penculikan tersebut pada 26 Juni 1946. Kelompok penculik disinyalir di pimpin Mayor Jendral Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Partai Komunis Indonesia. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal. Tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki. Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat. Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958 hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
postingan blog ini sesuai dengan isi yang di sajikan nya. aku baru menemukan informasi yang semenarik dalam blog ini. terima kasih ya gan informasinya.
BalasHapus