Jika anda sedang membuka akun fb dan ingin mengirim alamat posting ini kedinding anda, silahkan klik jempol dibawah:
A. Latar Belakang
Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah "kehidupan yang berjarak" menjadi "kehidupan yang bersatu". Implikasi dari kehidupan yang bersatu inilah yang sekarang disebut sebagai globalisasi. Sekalian bangsa di sudut manapun di dunia ini, sekarang sudah terhubung, terangkat, terkooptasi ke dalam satu pola kehidupan.
Satjipto Rahardjo, meminjam ungkapan Wallerstein, menyatakan bahwa globalisasi adalah proses pembentukan sistem kapitalis dunia yang telah membawa bangsa-bangsa di dunia terseret ke dalam pembagian kerja ekonomi kapitalis.
Terbentuknya institusi semacam WTO (World Trade Organization), forum kerjasama ekonomi semacam APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), Eropa bersatu dalam EEC (European Economic Council), dan lain-lain adalah beberapa contoh kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam tatanan ekonomi kapitalis.
Tidak dapat dinafikan betapa batas-batas teritorial suatu negara nasional kini tidak lagi menjadi penghalang bagi berbagai aktivitas ekonomi yang semakin pesat. Demikian pula lahan beroperasinya pekerjaan hukum yang semakin mendunia.
Fenomena di atas, nyata sekali dengan berkembangnya penggunaan istilah yang mengindikasikan dilampauinya batas-batas tradisional dan teritorial nasional suatu negara, seperti istilah transnational corporation, transnational, capitalist class, transnational practices, transnational information exchange, the
international managerial bourgoisie, trans-state norms, dan lain-lain.
Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara ini, boleh jadi kesepakatan antar negaranegara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang semakin penting.
Persoalannya, karena semakin banyak masalah transnasional yang memerlukan pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan instrumen perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional sudah berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.
B. Permasalahan
Suasana perubahan menjadi global sebagaimana diuraikan di atas, menginspirasi penulis untuk mengkaji beberapa masalah berikut ini: Pertama, benarkah di Indonesia telah berlangsung proses nasionalisasi norma-norma hukum internasional? Kedua, bagaimanakah proses nasionalisasi norma-norma hukum
internasional itu terjadi? Ketiga, benarkah globalisasi telah berimplikasi terhadap instrumen dan bekerjanya hukum? Keempat, upaya-upaya konkrit macam apakah yang seyogianya ditempuh dalam menghadapi kompleksitas perubahan akibat proses globalisasi?
C. Tujuan Penulisan
Secara rinci tujuan penulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri jawaban atas sejumlah permasalahan yang dikemukakan di atas. Dari jawaban-jawaban tersebut selanjutnya diharapkan akan dapat dipahami seberapa jauh implikasi globalisasi terhadap instrumen hukum nasional. Idealnya harapan penulis adalah direkomendasikannya segenggam pemikiran tentang model yang bagaimana yang seyogianya dipikirkan untuk diupayakan dalam melakukan harmonisasi hukum paling tidak diantara negara-negara serumpun di Asia Tenggara ASEAN). Hal itu semua akan penulis coba melalui kajian, telaah, serta deskripsi berikut ini.
II. TELAAH REFERENSI
A. Kesepakatan Negara-Negara (pengertian dan macamnya)
Adalah suatu kelaziman bila negara-negara berdaulat menghendaki suatu persoalan diselesaikan melalui perangkat norma yang disusun atas dasar kesepakatan bersama dengan tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, maka secara formal lahir dalam bentuk perjanjian internasional.
Kepustakaan hukum memandu pembacanya untuk memahami pengertian perjanjian internasional
sebagai berikut: "... perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu...".
Dalam konteks seperti yang dimaksud di atas, perjanjian internasional dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: "law making treaties" dan "treaty contracts". "Law making treaties", adalah perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional.
Sedangkan perjanjian internasional yang digolongkan sebagai "treaty contracts" mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang mengadakannya saja, sehingga hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian.
Oleh sebab itu perjanjian-perjanjian internasional yang tergolong treaty contracts tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Kecenderungan semakin pentingnya perjanjian internasional dalam
mengatur berbagai persoalan, ternyata tidak hanya berlangsung dalam bidang hukum publik internasional, melainkan juga berlangsung dalam bidang hukum perdata internasional (HPI).
Ini ditunjukan umpamanya oleh upaya yang dilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraan , baik law making treaty maupun treaty contracts kedua-duanya adalah suatu contract, yaitu
suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakannya dan yang mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi peserta-pesertanya.
Oleh karena itu bukan saja law making treaty, namun treaty contracts juga secara tidak langsung, melalui
proses hukum kebiasaan dapat juga merupakan law making. Suatu Catatan tentang Praktek Indonesia dalam hubungan dengan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional . Beberapa konferensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag, yang antara lain bertujuan untuk mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.
Seperti diketahui, setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki sistem HPI-nya sendiri-sendiri, sehingga norma HPI setiap negara itu tidak sama. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul dalam hal terjadi persoalan yang melibatkan dua negara atau lebih, negara-negara mengadakan upaya kerjasama internasional dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan terciptanya unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata.
Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan bermaksud untuk melakukan penyeragaman seluruh sistem hukum intern dari negara-negara peserta konperensi, melainkan hanya berusaha melakukan penyeragaman atas kaidah-kaidah HPI. Dengan demikian diharapkan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat dicapai kesatuan dalam penyelesaian persoalan oleh badan-badan peradilan masing-masing negara peserta.
B. Model Pranata Hukum yang Perlu Diadaptasikan
Suasana perubahan ke arah kehidupan masyarakat bangsa-bangsa yang semakin menyatu dengan bermacam implikasinya seperti diuraikan di atas, tentu saja mempengaruhi model pranata hukum yang harus dipersiapkan. Jika penyiapan pranata hukum yang dilakukan negara nasional seperti Indonesia semata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung selama ini, dikhawatirkan model semacam itu akan sulit mengadaptasikan diri dengan berbagai proses perubahan yang berlangsung sangat cepat.
Proses-proses ekonomi yang semakin global disertai berbagai bentuk aktivitas transnasionalnya akan terus berlangsung dan tidak mungkin dibendung. Semula Konperensi Hukum Perdata Internasional (HPI) di Den Haag itu merupakan konperensi diplomatik antara negara-negara Eropa (negara-negara Eropa kontinental) dengan tujuan menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI.
Akan tetapi kemudian pesertanya diperluas dengan masuknya Jepang (dari Asia tahun 1904). Kemudian seusai Perang Dunia ke II keanggotaan konperensi tersebut makin diperluas dengan masuknya Inggris (1951),
Turki (1956), Israel dan RPA (1960), USA (1964), Canada (1968), dan kemudian diikuti pula
oleh negara-negara dari kawasan Amerika Latin.
Disadari maupun tidak, aktivitas transnasional akan mempengaruhi arah dan perkembangan hukum nasional bangsa-bangsa. Pengaruh itu antara lain muncul dalam wujudnya: "(i) kenyataan bahwa bidang hukum transnasional semakin mengalami proses nasionalisasi, (ii) sebaliknya arena transnansional bagi praktik-praktik hukum semakin terbuka luas, dan (iii) semakin terasa betapa kekuatan-kekuatan dan logika-logika yang bekerja dalam bidang ekonomi, negara, dan tatanan internasional, telah berdampak pada bidang hukum.
Berkaitan dengan hal ini, Satjipto Rahardjo, menunjuk Max Weber “sebagai perintis yang melihat hubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme yang berarti bahwa Weber melihat kapitalisme itu sebagai sebab terjadinya perubahan dalam tipe hukum dari tradisional menjadi modern”.
Fenomena baru dimana kapitalisme telah dianggap sebagai penyebab berubahnya tipe hukum, tampak pula di Indonesia, antara lain pada bidang hukum yang mengalami proses nasionalisasi terhadap kaidah-kaidah hukum internasional.
Proses itu berlangsung antara lain berupa akseptasi atas berbagai kumpulan norma yang diwujudkan melalui kesepakatan negara-negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Di dalam hukum perjanjian internasional akseptasi semacam itu dikenal dengan istilah pengesahan atau ratifikasi (ratification).
Viena Convention on the law of Treaties 1969 memberi arti pada ratifikasi sebagai berikut: "Ratifications means in each case the international act so named whereby a state establishes on the international plans its consent to be bound by a treaty",[Art 2 (1) b].Ratifikasi di sini merupakan tindakan suatu negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dengan suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu, nasionalisasi norma-norma hukum internasional dalam suatu negara pada dasarnya merupakan suatu proses masuk dan diterimanya norma transnasional ke dalam pranata hukum nasional suatu negara. Selanjutnya norma-norma tersebut menjadi bagian dari hukum positip negara tersebut.
Bagi Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global Indonesia, memasuki abad dimana batas negara nasional semakin imajiner, proses penyiapan norma hukum melalui model ratifikasi terhadap kumpulan norma transnasional di atas, menjadi conditio sine qua non.
Hal itu mengingat Indonesia telah dengan berani dan tegas mendeklarasikan diri untuk bersamasama negara lain memasuki arena kehidupan global pada dasawarsa mendatang. Pada sisi lain, apa yang di atas disebut sebagai arena transnasional bagi praktik hukum juga telah tercipta. Sebagai contoh, mekanisme penyelesaian
sengketa niaga yang melibatkan pihak-pihak multinasional, hampir dapat dipastikan sedikit banyak telah menggeserkan peran dan kompetensi pengadilan negeri.
Ada gejala ke arah pengesampingan cara-cara konvensional untuk
menyelesaikan konflik melalui institusi hukum negara yang bernama pengadilan
negeri. Terlebih lagi jika sengketa niaga itu melibatkan pihak-pihak multinasional.
Para pelaku niaga multinasional yang bermitra dengan pelaku niaga Indonesia,
sejak semula telah berasumsi bahwa menyelesaikan konflik lewat institusi
hukum negara acapkali lamban dan sulit memperoleh kepastian dan keadilan.
Asumsi yang “meminorkan” kinerja pengadilan negeri di atas tentu saja masih
perlu diuktikan lebih lanjut melalui penelitian yang akurat dan mendalam. Akan
tetapi dari fenomena yang berkembang telah memunculkan sebuah lembaga
alternatif bagi penyelesaian sengketa yang dianggap dapat lebih mengakomodasi
harapan penggunanya dalam bentuk Alternative Dispute Resolution (ADR).
Meski langkah yang diambil Indonesia mungkin agak sedikit terlambat,
namun menghadapi transformasi global semacam ini, akhirnya pemerintah
mengundangkan juga Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. Apa pun kesannya, langkah itu
tentu saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan akselerasi
dan dinamika masyarakat yang semakin kompleks. Tidak dapat dinafikan pula,
bahwa munculnya Undang-undang tersebut boleh jadi merupakan dampak dari
kekuatan dan logika ekonomi pada era kapitalisme yang sangat berpengaruh
terhadap hukum. Logika ekonomi yang mengisyaratkan bahwa "kecepatan dan
ketepatan memanfaatkan peluang berniaga berbanding lurus dengan keuntungan
9
materi yang akan diperoleh", telah amat berimplikasi. Buktinya, pelaku niaga
yang memiliki kasus sengketa dengan mitra niaganya akan senantiasa berupaya
untuk menyelesaikannya lewat jalur penyelesaian yang cepat. Oleh karena itu
lembaga konvensional yang bernama pengadilan negeri dianggap sangat kurang
akomodatif terhadap tuntutan mereka.
Meski kompetensi pengadilan negeri untuk menyelesaikan berbagai
sengketa niaga semakin cenderung digeserkan oleh forum lain yang dianggap
lebih memberikan percepatan, namun dalam beberapa hal peran yang dimainkan
pengadilan negeri masih cukup signifikan serta hampir tidak mudah untuk
digeserkan oleh forum lain. Umpamanya saja, dalam hal putusan arbitrase tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh para pihaknya, maka eksekusi putusan
semacam itu akan kembali menjadi kompetensi pengadilan negeri. Demikian pula
putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase di luar Indonesia, jika hendak
dimintakan pengakuan dan pelaksanaannya di wilayah hukum Republik
Indonesia, maka putusan semacam itu harus terlebih dahulu memperoleh
exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.11
Disadari maupun tidak, kondisi objektif yang dialami Indonesia dari hari
ke hari merupakan bukti bahwa sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa
Indonesia semakin terkooptasi ke dalam kancah dan percaturan ekonomi global.
Hingga muncul fenomena institusi hukum negaranya pun sungguh sangat kena
implikasinya dalam konteks percaturan internasional. Pertanyaan penting yang
muncul kemudian adalah, upaya-upaya progresif apakah yang telah dan akan
dilakukan Indonesia menyongsong situasi global yang semakin kompleks
mendatang?
Satu hal saja misalnya, menghadapi kawasan Asia Pasifik sebagai
wilayah perdagangan bebas mendatang, mau tidak mau Indonesia harus
meninjau kembali perangkat norma hukum yang telah tersedia dan segera
membenahi model pembentukan pranata hukum secara sistematis dan berencana.
Hal itu menjadi mutlak perlu untuk dilakukan, mengingat di masa-masa
11 Lihat Pasal 66 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
10
mendatang timbulnya kasus-kasus sengketa niaga sebagai akibat berlangsungnya
transaksi niaga multinasional semakin tidak mungkin dihindarkan. Oleh karena
itu khusus berkaitan dengan Hukum Acara Perdata untuk pengadilan negeri sangat
mendesak untuk dilakukan pembaruan. Proses pembaruan dengan jalan
menggantikan het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) oleh Undang-undang
baru masih belum cukup. Dalam dataran yang sama, mengadakan kesepakatan
bilateral maupun meratifikasi berbagai perjanjian internasional multilateral
menyangkut hukum acara perdata untuk badan peradilan, adalah tindakan yang
amat tepat.
Mengapa hal itu menjadi semakin penting? Oleh karena kasus-kasus
yang muncul maupun putusan-putusan yang dihasilkan tidak lagi hanya bernuansa
lokal nasional. Subjek dan objek sengketa niaga yang akan terjadi akan
melibatkan manusia (subjek hukum lainnya), barang, dan jasa yang berasal dari
berbagai negara dengan latar belakang sistem hukum yang berlainan pula.
Bahkan forum pemutusnya pun boleh jadi tidak hanya forum-forum non-litigasi
asing saja, melainkan mungkin juga berasal dari forum litigasi asing (baca: hakim
pengadilan nasional negara lain) yang putusannya akan hadir di Indonesia dan
meminta untuk dieksekusi karena objek sengketanya memang berada di wilayah
hukum Republik Indonesia.
Atas dasar pertimbangan pemikiran semacam itu, maka meskipun model
perjanjian internasional dalam bidang hukum acara perdata pada badan
peradilan, yang dikemukakan berikut ini sudah terbilang kuno, namun sebagai
model pembentukan perangkat norma, kiranya masih relevan dijadikan rujukan.
Beberapa contoh yang dikemukakan ini berasal dari konvensi yang telah berhasil
dirumuskan di dalam beberapa event Konperensi Internasional di Den Haag.
Mengapa model pembentukan perangkat norma semacam itu penulis anggap
masih layak dirujuk? Sebab, masalahnya bukan terletak pada lama atau barunya
issue yang dimuat, melainkan pada format yang dapat dirujuk sebagai model
format pembentukannya. Oleh karena itu format yang boleh dibilang universal
semacam itu dapat juga digunakan di berbagai kawasan negara-negara, selama
memiliki tujuan yang sama yakni menciptakan harmonisasi sistem hukum negara11
negara. Harmonisasi antar sistem hukum negara-negara berdaulat tentu saja
semakin urgen untuk dilakukan dalam konteks masyarakat global. Dengan
demikian, masih cukup relevan kiranya jika beberapa contoh konvensi di bawah
ini disimak sebagai model format yang layak dipertimbangkan untuk diadopsi
penyusunannya bagi kawasan ASEAN umpamanya.
1. Convention relating to Civil Procedure, 1954. (Konvensi tentang hukum
acara perdata pada badan peradilan, tahun 1954).
2. Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents
in Civil or Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang penyampaian
dokumen resmi badan peradilan kepada para pihak yang berada di luar
negeri di dalam perkara perdata dan dagang, tahun 1965).
Konvensi ini pada dasarnya merupakan hasil revisi dari Bab pertama
Konvensi 1954, yang dilakukan pada Konperensi Den Haag ke 10 tahun
1964. 12
3. The Hague Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Judgments in Civil and Commercial Matters, 1971. (Konvensi Den Haag
tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Hakim Asing di dalam perkara
Perdata dan Dagang, tahun 1971).13
Model konvensi-konvensi di atas, selain dimaksudkan untuk
menyeragamkan kaidah-kaidah hukum perdata internasional diantara negaranegara
peserta, juga dalam rangka melancarkan hubungan lalu lintas
12 Selain diikuti oleh kebanyakan negara civil law, konvensi Service Abroad ini juga telah
diratifikasi oleh Amerika Serikat (24-8-1967) dan Kerajaan Inggris (17-11-1967). Oleh karena
itu menurut keadaan tanggal 1 September 1985, terdapat kira-kira 20 negara yang telah terikat
oleh Konvensi ini, yaitu: Belgia (1970), Cyprus (1983), Chekoslovakia (1982), Denmark
(1969), Finlandia (1969), Mesir (1968), Perancis (1972), Jerman Barat (1979), Yunani (1983),
Israel (1972), Italia (1981), Jepang (1970), Luxemburg (1975), Belanda (1975), Norwegia
(1969), Portugal (1973), Spanyol (penandatanganan 1976), Swedia (1969), Swiss
(penandatanganan 1985), dan Turki (1972). Lihat S. Gautama, Ibid., halaman 246.
13 Konvensi ini menurut D. Kokkini-Iatridou & J.P. Verheul, "... has entered into force between
the Netherlands and some other countries but has not become operative since there are as
yet no complementary bilateral treaties in the sense of its article 21" ; Maksudnya adalah,
bahwa untuk memperoleh pengakuan dan pelaksanaan putusan hakim dari sesama negara
peserta The Hague Convention tersebut, masih disyaratkan harus adanya perjanjian bilateral
diantara negara-negara peserta konvensi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 21 konvensi.
Lihat Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters;
12
internasional khususnya di dalam menyelesaikan kasus-kasus bidang hukum
perdata dan hukum perniagaan. Hal itu dipandang penting mengingat dalam
masyarakat internasional tidak terdapat suatu penguasa yang berwenang
menetapkan serta memaksakan ketentuan hukum, seperti halnya dalam suasana
nasional.
III. NASIONALISASI SEBAGAI KENISCAYAAN
(Sebuah Telaah Kritis-Analitis)
Proses nasionalisasi terhadap norma hukum internasional di Indonesia
pada dasarnya telah berlangsung sejak lama, setidaknya sejak Indonesia
memperoleh kedaulatannya. Upaya tersebut dilakukan tentu saja dalam rangka
beradaptasi dengan norma-norma yang ada dan berlaku dalam komunitas
masyarakat bangsa-bangsa. Meski secara keseluruhan tidak bermaksud penulis
sebutkan dan rinci satu demi satu, namun beberapa diantaranya yang tampak
sangat menonjol pada bidang-bidang tertentu dapat kiranya dicontohkan.
Semasa Orde Baru berkuasa tentu saja upaya akseptasi norma-norma
hukum internasional menjadi hukum nasional dan dipositipkan oleh negara itu
banyak dilakukan. Bukan saja karena Orde Baru adalah rezim pemerintahan yang
paling lama dan dominan berkuasa dalam kurun usia kemerdekaan Indonesia,
akan tetapi memang ketika awal-awal Orde Baru-lah proses pembangunan
ekonomi Indonesia dimulai dengan mengundang masuknya modal asing. Oleh
karena itu era kapitalisme di Indonesia secara formal boleh dikatakan dimulai
ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
diundangkan.
Menyusul tindakan pemerintah Orde Baru mengundang investor asing
untuk menstimulasi upaya pembangunan ekonomi rakyat Indonesia, mulailah
secara sistematis dan berkelanjutan proses nasionalisasi kaidah hukum
internasional terjadi. Mengawali proses nasionalisasi di atas, kaidah hukum
internasional yang termasuk pertama kali menjadi kaidah hukum nasional positip
di Indonesia adalah “Convention on the Settlement of Investment Disputes
di dalam: Netherlands Reports to the twelfth International Congress of Comparative
13
Between States and Nationals of Other States”. ‘Konvensi mengenai
Penyelesaian Sengketa antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai
Penanaman Modal’ ini diakseptasi oleh Pemerintah Indonesia melalui instrumen
ratifikasi berupa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968.14 Secara substansial,
Undang-undang No. 5 tahun 1968 hanya berisi 5 (lima) pasal. Ini berarti secara
materiil, substansi norma yang berisi perintah, larangan, dan lain-lain yang
berasal dari Konvensi internasional tersebut secara utuh diadopsi dan kemudian
menjadi bagian dari hukum positip Indonesia.
Sementara itu Undang-undang No. 5 tahun 1968 secara formal maupun
materiil fungsinya semata-mata sebagai instrumen yang digunakan sebagai media
untuk mendeklarasikan sikap Pemerintah Indonesia. Dalam konteks nasionalisasi
norma-norma hukum internasional, media deklarasi itu tentu saja sangat penting
dalam menerima segala hak dan kewajiban serta konsekuensi dari keseluruhan
norma-norma hukum yang termuat pada konvensi internasional tersebut, karena
norma bersangkutan kelak akan berlaku dan mengikat seluruh rakyat Indonesia.
Setelah melampaui satu dasawarsa lebih usia Undang-undang tentang
Penanaman Modal Asing menjadi instrumen pembentukan era kapitalisme di
Indonesia, agaknya intensitas hubungan niaga antar warga negara asing dengan
mitranya dari Indonesia juga secara simultan berlangsung timbal balik. Intensitas
hubungan dagang antar mereka tentu saja tidak selamanya mulus tanpa masalah.
Munculnya friksi hingga sengketa yang lebih besar diantara para pelaku niaga
yang memerlukan penyelesaian, agaknya sulit untuk dihindari. Akibatnya muncul
tuntutan baru dari mereka tatkala institusi hukum negara yang bernama
pengadilan negeri kurang mampu menjawab harapan percepatan dalam
menyelesaikan sengketa niaga diantara mereka. Saat itu Pemerintah Indonesia
kembali dipaksa untuk menjawab tuntutan komunitas pelaku niaga. Manakala
sengketa yang muncul diantara komunitas pelaku niaga itu tidak diselesaikan
lewat institusi pengadilan negeri di Indonesia, artinya dominasi negara dalam
menyelesaikan sengketa telah digeserkan oleh forum yang dipilih para pihak.
Law. Sydney-Melbourne,1986; TMC-Asser Institute-The Hague, 1987, halaman 004.
14
Forum itu bisa institusional, bisa juga ad hoc. Demikian pula halnya dengan
kewarganegaraan forum tersebut, bisa Indonesia atau mungkin juga
berkewarganegaraan asing.
Tatkala permintaan pengakuan dan eksekusi atas putusan arbitrase asing
datang di Indonesia,15 timbul persoalan baru mengenai instrumen dan norma
manakah yang menjadi rujukan untuk keperluan pengakuan dan eksekusi putusan
semacam itu. Saat itu Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.16 Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 198117 tentang
Pengesahan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards” dianggap oleh Mahkamah Agung masih memerlukan peraturan
pelaksanaan. Akibatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri tidak
dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.18
Cukup lama dan berlarut-larut permasalahan seputar pengakuan dan
eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia. Penyebabnya antara lain sikap dan
pendirian Mahkamah Agung sendiri yang selalu diliputi keraguan. Bahkan setelah
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 199019 dikeluarkan, hampir tidak ada
kasus permohonan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia yang dikabulkan.
Mahkamah Agung selalu bersandar pada persoalan “ketertiban umum”. Hingga
tak satu pun putusan arbitrase asing yang dianggap lolos oleh Mahkamah Agung
dan dianggap tidak bertentangan dengan ketertiban umum Indonesia.
14 Lihat Sunarjati Hartono. Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing
di Indonesia; (Dissertasi). Bandung: Binacipta, 1972, halaman 122.
15 Lihat Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 228/1979 tanggal 10 Juni 1981 dalam
perkara antara Navigation Maritime Bulgare (sebagai pemohon eksekusi) atas PT Nizwar di
Jakarta (sebagai termohon). Dalam S. Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional.
Bandung: Alumni, 1986, halaman 70.
16 Meski PN Jakarta Pusat melalui penetapannya di atas telah mengabulkan permohonan eksekusi
atas putusan arbitrase London yang menghukum PT Nizwar di Jakarta untuk membayar
jumlah tertentu kepada Navigation Maritime Bulgare, tetapi Mahkamah Agung berpendapat
lain.
17 Sebagai instrumen untuk mengesahkan Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing yang telah ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958. KepPres
tersebut ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 5 Agustus 1981.
18 Periksa Putusan MA No. 2944/Pdt/1983, tanggal 29 November 1984. Dalam S. Gautama, Op.
Cit., halaman 71.
19 Tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
15
Terlepas dari permasalahan pengakuan dan eksekusi dengan berbagai likulikunya,
yang relevan dan menarik untuk dikaji dalam kaitan ini adalah masalah
keberlakuan Convensi yang disahkan dengan instrumen Keputusan Presiden
Nomor 34 tahun 1981 di atas. Bila disimak secara saksama, pengesahan Convensi
yang disebut terakhir ini pun merupakan salah satu wujud proses nasionalisasi
terhadap norma hukum internasional di Indonesia. Betapa tidak, tanpa harus
melalui perdebatan di parlemen, substansi norma yang berasal dari Convensi di
atas diterima seutuhnya hingga menjadi bagian dari norma hukum positip
Indonesia.
Bila dikaji berdasarkan penggolongan norma-norma hukum secara
konvensional, tampaknya kedua konvensi yang menjadi bagian dari hukum
nasional Indonesia melalui proses ratifikasi di atas berada pada ranah hukum
formal publik. Yaitu sekumpulan kaidah hukum yang berisi aturan tentang
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil dengan perantaraan
lembaga (baca: forum; bisa litigasi maupun non-litigasi) dan proses (baca:
beracara). Sementara itu dari tataran kaidah-kaidah hukum internasional materiil
juga terjadi proses akseptasi. Beberapa konvensi dimaksud termasuk instrumen
nasional ratifikasinya dapat diketahui antara lain berikut ini:
· Pengesahan Konvensi Telekomunikasi Internasional (International
Telecommunication Convention) Nairobi, 1982, dengan instrumen
nasional Undang-undang Nomor 11 tahun 1985;
· Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum
Laut (United Nations Convention the Law of the Sea) New York 1982,
dengan instrumen nasional Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985;
· Pengesahan Convention Establishing the Multilateral Investment
Guarantee Agency, Washington DC, 1986, dengan instrumen ratifikasi
Keputusan Presiden Nomor 31 tahun 1986.
Dikaji berdasarkan pihak-pihak yang mengadakannya, konvensi di atas
boleh digolongkan sebagai perjanjian multilateral, yakni perjanjian internasional
yang dilakukan antara banyak pihak.20 Sedangkan berdasarkan substansinya,
20 Lihat Catatan kaki Nomor 8 pada halaman 4 di atas.
16
terkategorikan law making treaties. Demikian kategorinya karena perjanjian
internasional itu melahirkan norma hukum internasional baru, sehingga
meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat
internasional dalam arti keseluruhan.21 Sementara itu, apabila diamati berdasarkan
negara pihak ketiga,22 yakni negara-negara yang tidak turut serta pada
perundingan-perundingan ketika melahirkan perjanjian tersebut, tampaknya
juga termasuk law making treaties. Hal itu disebabkan konvensi semacam itu
selalu terbuka bagi pihak lain yang semula tidak turut serta dalam perjanjian
karena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan masalah-masalah umum yang
bersangkut paut dengan semua anggota masyarakat internasional.23
Boleh jadi sangat erat kaitannya antara pembentukan era kapitalisme
dengan proses nasionalisasi atas kaidah hukum internasional, dan situasi global
yang berimplikasi terhadap tipe hukum nasional.
Dalam konteks ini relevan kiranya bila ungkapan dua tokoh berikut ini
disinergikan dalam satu alur fikir. Wallerstein berujar, bahwa “globalisasi adalah
proses pembentukan sistem kapitalis dunia”. Pada kesempatan lain, Weber
mendeskripsikan hasil surveynya bahwa “kapitalisme itu sebagai sebab terjadinya
perubahan tipe hukum dari tradisional menjadi modern”. Walhasil, situasi global
yang memunculkan sistem kapitalis dunia, telah begitu berimplikasi terhadap tipe
hukum, dari tradisional menjadi modern, dari hukum lokal yang tidak tertulis
menjadi hukum tertulis, dan dari hukum nasional menjadi hukum transnasional.
Agaknya bagi negara yang telah membiarkan dirinya terkooptasi oleh situasi
global, sangat boleh jadi produk-produk hukumnya tidak cukup lagi jika sematamata
mengandalkan pranata hukum produk lokal-nasional dalam wujud kodifikasi
atas sekalian bahan hukum yang dikerjakan oleh parlemen dan pemerintah,
melainkan menjadi conditio sine qua non untuk mengakseptasi produk hukum
transnasional.
21 Moctar Kusumaatmadja, Op. Cit., halaman 114.
22 Yang dimaksud dengan negara-negara pihak ketiga (third state) dalam kaitan ini adalah
negara-negara yang bukan peserta dari suatu perjanjian internasional. Lihat article 2 ayat (1-h)
yang menentukan: ‘third state’ means a state not a party to the treaty.
17
IV. KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERHADAP NEGARA-NEGARA PIHAK KETIGA
A. Pengertian Negara Pihak Ketiga
Konvensi Wina 1969 tidak menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian
negara pihak ketiga. Sebegitu jauh pengaturan dan pembahasan mengenai negara
pihak ketiga atau negara bukan peserta senantiasa dikaitkan dengan masalah
hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional bersangkutan.
Pengertian negara pihak ketiga paling tidak dapat dipahami dengan
menelusuri pengertian-pengertian penggolongan perjanjian internasional atas
"treaty cotract" dan "law making treaties". Mochtar Kusumaatmadja, antara lain
menyebutkan bahwa pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty
contract yang diadakan antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu
semula. Perjanjian itu mengatur persoalan yang semata-mata mengenai pihakpihak
itu.24 Hal itu disebabkan di dalam perjanjian bilateral, negara pihak ketiga
umumnya tidak berkepentingan untuk turut serta dalam suatu perjanjian
bersangkutan. Jadi tidak semua negara pihak ketiga itu akan dapat memperoleh
hak atau dibebani kewajiban oleh suatu perjanjian bilateral, kecuali perjanjian
bilateral tersebut menyangkut objek yang sangat penting.25
Sebaliknya suatu perjanjian yang bersifat umum atau "law-making
treaty" selalu terbuka bagi pihak lain yang tadinya tidak turut serta dalam
perjanjian, karena yang diatur oleh perjanjian itu merupakan masalah-masalah
umum yang mengenai semua anggota masyarakat internasional.26
Dari uraian di atas, sekurang-kurangnya dapat diperoleh pengertian
secara umum bahwa negara pihak ketiga adalah negara yang tidak turut serta
dalam perundingan-perundingan yang melahirkan suatu perjanjian. Pihak ketiga
23 Ibid., halaman 114.
24 Sesungguhnya Mochtar Kusumaatmadja tidak sepaham dengan para sarjana yang
melakukan pembedaan perjanjian atas treaty contract dan law making treaties. Bahkan beliau
mengatakan istilah-istilah itu sebenarnya kurang tepat. Oleh karena itu beliau menyebutnya
dengan istilah perjanjian khusus untuk "treaty contract" yang pada umumnya merupakan
perjanjian bilateral, dan menyebut perjanjian yang bersifat umum bagi "law making treaty"
yang pada umumnya adalah perjanjian multilateral. Lihat, Mochtar Kusumaatmadja, Op.
Cit., halaman 114-115.
25 Budiono Kusumohamidjojo, Op. Cit., halaman 30.
26 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., halaman 114.
18
ini secara kontekstual akan berlainan posisinya terhadap perjanjian bilateral dan
terhadap perjanjian multilateral. Artinya suatu negara pihak ketiga kemungkinan
sama sekali tidak akan ber kepentingan untuk turut serta dalam suatu perjanjian
bilateral. Akan tetapi tidak demikian halnya terhadap perjanjian multilateral.
Setiap negara pihak ketiga pada setiap saat senantiasa terbuka kesempatannya
untuk turut serta terhadap perjanjian multilateral, kecuali perjanjian itu
menentukan lain.
Setelah negara pihak ketiga itu menyatakan diri turut serta terhadap suatu
perjanjian multilateral, secara yuridis negara tersebut bukan lagi negara pihak
ketiga. Walaupun mungkin negara tersebut tidak turut serta pada saat
perundingan yang melahirkan perjanjian itu.
B. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional terhadap Negara Pihak
Ketiga
Pada dasarnya suatu perjanjian internasional hanya mengikat negaranegara
yang membuatnya. Paling tidak itulah makna dari suatu asas dalam
Hukum Romawi yang menyebutkan: "pacta tertiis nec nocent nec prosunt".27
Maksudnya, bahwa "suatu perjanjian tidak memberi hak maupun kewajiban
pada pihak ketiga, 28 tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut".
Akan tetapi dalam perkembangannya dijumpai adanya pengecualian,
sehingga berlakunya asas di atas tidak mutlak lagi. Sebagai contoh umpamanya,
dengan berlakunya pasal 2 ayat (6) dari Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa,29 ternyata juga memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara
27 Asas itu dicantumkan dalam Art. 34 Viena Convention on the Law of Treaties 1969, di
bawah judul "General rule regarding third states". Selengkapnya pasal tersebut menentukan
sebagai berikut: "A treaty does not create either obligations or rights for a third state without
its consent".
28 Lihat Ian Brownlie, Basic Document on International Law. Clarendon Press, Oxford, 1974,
halaman 619-620. Bandingkan J.G. Starke, Introduction to International Law. (Ninth
Edition), Butterworths, 1984, halaman 421. Budiono Kusumohamidjojo, Konvensi Wina
tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986, halaman
29.
29 Pasal 2 ayat (6) menentukan: "The Organization shall ensure that states which are not
members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be
19
yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataan itu menunjukkan
bahwa dalam praktik suatu perjanjian yang ditetapkan oleh peserta-peserta yang
relatif besar jumlahnya (seperti misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa),
atau perjanjian tentang suatu objek yang sangat penting (misalnya tentang
Terusan Suez dan Terusan Panama) dapat membawa pengaruh yang amat
besar pada negara-negara yang bukan peserta.30
Melakukan kajian mengenai kekuatan mengikat dari suatu perjanjian
internasional, sama halnya dengan melakukan pembahasan tentang hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, bahwa hanya negara-negara peserta atau yang menjadi pihakpihak
dalam suatu perjanjian itulah yang sesungguhnya memperoleh hak dan
dibebani kewajiban oleh perjanjian bersangkutan. Sedangkan negara-negara
yang bukan peserta perjanjian pada dasarnya merupakan "res inter alios acta".31
Namun Konvensi Wina tidak menutup sama sekali kemungkinan diperolehnya
hak maupun dibebankannya suatu kewajiban atas negara bukan peserta.32 Di
dalam perjanjian internasional, kaidah-kaidah mengenai hal itu dapat
dijumpai dalam pasal-pasal 34, 35, 36, dan pasal 37 Konvensi Wina 1969.
Ada satu ketentuan yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa perjanjian
internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak ketiga tanpa
persetujuan pihak ketiga tersebut.33 Persetujuan ini harus diberikan secara tertulis
serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan
necessary for the maintenance of internatioan peace and security". Ibid., halaman 29. Treaties
and Third States, dalam S.K. Agrawala (eds), Essays on the Law of Treaties., halaman 46.
30 Budiono K., Op.Cit., halaman 30.
31 Selengkapnya asas tersebut adalah: res inter alios acta, alteri nocere non debet; Artinya: A
transaction between other persons should not prejudice one not a party to it. Lihat Running
Press Dictionary of Law. 1976, halaman 144. Bandingkan Zakaria Samin, yang
menerjemahkan asas tersebut dengan: "Soal yang semata-mata mengenai urusan pihak lain”,
“Daya Mengikat…” Majalah Hukum PADJADJARAN Op. Cit., halaman 49.
32 "The civil laws of many countries recognise the validity of contractual rights conferred in
certain cases on third persons. This principle of civil law is not justified by analogy in regard
to treaties but is sufficiently justified by practice and the decisions of various tribunals,
national as well as international."; Untuk uraian yang lebih rinci mengenai hak-hak pihak
ketiga dalam perjanjian internasional, baca L.N. Mathur, Treaties and Third Parties; dalam
S.K. Agrawala (eds), Essays on the Law of Treaties., halaman 47 dst.
20
tegas dalam perjanjian itu.34 Kewajiban pihak ketiga adalah bahwa ia harus
bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan perjanjian dan ia akan
tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan kehendaknya
yang berlainan.35
Negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang terletak di
kawasan Asia-Afrika berpendapat bahwa persetujuan pihak ketiga diberikan
secara tegas dan tertulis harus untuk mencegah mengikatnya suatu perjanjian
bagi suatu negara lain di luar kehendaknya.36
Penafsiran atas pasal-pasal 35 dan 36 di atas diberikan juga oleh
International Law Commission (ILC). Bahwa pasal 35 bermaksud melindungi
negara-negara bukan peserta dari kemungkinan pembebanan kewajiban yang
sewenang-wenang. Sedangkan pasal 36 ayat (2) bermaksud melindungi para
peserta dari kemungkinan bahwa negara-negara bukan peserta dapat
melampaui batas hak yang diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa,
sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka
bentuk.37 Selanjutnya ketentuan mengenai perubahan atas suatu kewajiban dan
perubahan atas suatu hak bagi negara-negara bukan peserta, diatur di dalam pasal
37 (ayat 1 dan ayat 2).
Kaidah-kaidah perjanjian internasional di atas antara lain membuktikan
bahwa prinsip umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt tidak dapat lagi
semata-mata ditafsirkan menurut arti yang sesungguhnya seperti ketika zaman
Romawi Kuno. Bahkan Starke,38 di dalam bukunya antara lain, menyebutkan
beberapa jenis perjanjian internasional yang dapat mengikat negara-negara bukan
peserta atau negara pihak ketiga. Jenis perjanjian internasional tersebut
diantaranya: Pertama, "Multilateral treaties declaratory of established
33 Pasal 34.
34 Lihat Mieke Komar, Bahan Pelajaran Hukum Perjanjian Internasional, Beberapa Masalah
Pokok Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Fakultas
Hukum Unpad, 1985, halaman 40.
35 Pasal. 35, 36, 37 Konvensi Wina 1969; Mieke Komar, Ibid., halaman 40.
36 Mieke Komar, Asian African Legal Consultative Committee materials, hal. 618 dst., dalam
Beberapa Masalah ...; Loc. cit., halaman 41.
37 Lihat Budiono K. Op. cit., halaman 30.
38 Starke, Op. Cit., halaman 421-422.
21
customary international law will obviously apply to non-parties, Also treaties,
bilateral or otherwise...". (Perjanjian multilateral yang menyatakan berlakunya
hukum kebiasaan internasional juga mengikat negara bukan peserta). Akan tetapi
terikatnya negara bukan peserta itu bukan oleh perjanjian internasional
bersangkutan, melainkan oleh hukum kebiasaan internasional yang telah
dituangkan ke dalam perjanjian internasional tersebut.39 Sebagai contoh
ketentuan perjanjian internasional semacam ini antara lain Konvensi Jenewa
tahun 1958 mengenai Hukum Laut dan Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai
Perlindungan Korban Perang.
Kedua, Multilateral treaties creating new rules of international law may
bind non-parties in the same way as do all rules of international law,...
(Perjanjian multilateral yang menciptakan kaidah hukum internasional baru dan
diratifikasi oleh semua negara besar, akan mengikat negara bukan peserta
sebagaimana hukum internasional mengikatnya).40
C. The Hague Convention 1971 dan Kepentingan Indonesia sebagai Negara
Pihak Ketiga
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa rencana untuk
mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah hukum perdata internasional telah
dimulai di Den Haag sejak tahun 1893. Sejak tahun 1951, konperensi hukum
perdata internasional tersebut telah bersifat permanen dan diadakan secara berkala
tiap empat tahun sekali. Bahkan keanggotaannya juga semakin diperluas.41
Sebagai konsekuensi diperluasnya keanggotaan Konperensi Den Haag, maka
semakin luas pula pembahasan dan pemecahan persoalan-persoalan HPI yang
berlangsung. Konperensi tidak hanya membahas masalah-masalah HPI yang
timbul di kalangan negara-negara Eropa Kontinental, melainkan berusaha ke arah
39 Bandingkan Mark E. Villiger, Customary International Law and Treaties. Martinus Nijhoff
Publishers, 1985, halaman 194 dst.
40 Sebagai contoh Briand-Kellogg Pact of 1928 for the Outlawry of War which under the
Nuremberg Judgment of 1946 ... ; Lihat Starke, Op. Cit., halaman 422; Zakaria Samin, Daya
Mengikat ...; dalam Majalah Hukum Padjadjaran, Op. Cit., halaman 59.
41 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., halaman 114.
22
tercapainya unifikasi mondial,42 dari kaidah-kaidah hukum perdata internasional.
Tujuan tersebut hendak dicapai dengan jalan mengadakan konvensi
internasional di kalangan negara-negara anggotanya.
Walaupun Indonesia untuk pertama kalinya hadir di dalam konperensi
hanya sebagai peninjau (observer), namun paling tidak Indonesia telah turut
serta di dalam dua konperensi di Den Haag. Masing-masing pada Konperensi ke
XI pada bulan Oktober tahun 1968,43 dan pada Konperensi ke XII pada bulan
Oktober 1972. Sebagaimana diketahui bahwa The Hague Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial
Matters of 1971 and Supplementary Protocol, sejak jauh hari telah dibahas
dalam Session Extraordinaire pada tahun 1966. Kemudian ketika Indonesia
turut serta sebagai observer (peninjau) pada konperensi ke XI, masalah-masalah
yang tercantum di dalam konvensi tersebut di atas juga dibahas lebih lanjut.44
Akan tetapi konvensi itu tidak pernah berlaku efektif, oleh karena tidak adanya
suatu perjanjian bilateral sebagaimana disyaratkan oleh pasal 21 konvensi. Hal itu
dapat diketahui dari pernyataan Kokkini-Iatridou/Verheul, di atas bahwa :
"... The Hague Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters of 1971, has
entered into force between the Netherlands and some other countries
but has not become operative since there are as yet no complementary
bilateral treaties in the sense of its article 21...".45
Ternyata pasal 21 konvensi di atas mensyaratkan masih diperlukannya
suatu Supplementary Agreement dalam bentuk perjanjian bilateral diantara
negara-negara penanda tangan konvensi. Artinya suatu putusan hakim yang
dijatuhkan pada suatu negara peserta konvensi hanya akan diakui dan/atau
42 Sudargo Gautama, Capita ... Op. Cit., halaman 14.
43 Pada pertama kalinya itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Prof.Mr.DR. Sudargo Gautama,
dengan anggota delegasi masing-masing: Teuku M. Radhie,S.H. (alm), Situmorang,S.H.
(Staf KBRI Den Haag), dan DR. Ko Swan Sik, S.H. (kini Head of Department of Public
International Law, T.M.C. Asser Instituut, Den Haag dan Professor of International Law pada
Erasmus University, Rotterdam). Lihat Ibid., halaman 13.
44 Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku Kedelapan).
Alumni : Bandung, 1987, halaman 278.
45 Lihat Kokkini-Iatridou/J.P.Verheul. Op.Cit., halaman 004.
23
dilaksanakan pada negara peserta konvensi lainnya apabila telah ditandatangani
suatu complementary bilateral treaties.
Berbeda dengan sarjana Belanda di atas, Sudargo Gautama, memiliki
keyakinan, bahwa kaidah-kaidah yang tercantum di dalam konvensi-konvensi
yang diterima oleh konperensi Den Haag bukan saja diikuti oleh hakimhakim
dari negara-negara peserta, tetapi juga oleh hakim-hakim dan para sarjana
dari negara-negara bukan peserta. Keterikatan negara-negara bukan peserta di
atas, didasarkan pada hukum kebiasaan yang umum diterima.46 Hal ini
dimungkinkan mengingat Konvensi tidak mengatur semua hal yang berhubungan
dengan perjanjian internasional. Oleh karena itu maka Konvensi membuka pintu
lebar-lebar untuk tetap mempertahankan berlakunya aturan-aturan Hukum
Kebiasaan Internasional di samping aturan-aturan Konvensi. Hal itu terlihat
misalnya dari ketentuan pasal 3, dimana ditentukan perjanjian-perjanjian yang
tidak tunduk pada Konvensi dapat diatur menurut ketentuan-ketentuan Konvensi
apabila diharuskan oleh Hukum Internasional umum, yaitu Hukum Kebiasaan
Internasional dan prinsip-prinsip hukum umum.47
Selanjutnya dikemukakan bahwa ketentuan pasal 38 [Konvensi Wina] juga
menetapkan bahwa pasal-pasal Mengenai hubungan perjanjian dengan pihak
ketiga tidak mengecualikan kemungkinan suatu perjanjian mengikat bagi pihak
ketiga berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional. Demikian pula apa yang
tercantum dalam Mukadimah Konvensi itu sendiri, dimana ditegaskan
bahwa aturan-aturan Hukum Kebiasaan Internasional akan tetap mengatur halhal
yang tidak diatur oleh Konvensi. Pendapat senada dikemukakan pula oleh
Budiono Kusumohamidjojo, antara lain:
“.. Sering terjadi bahwa suatu perjanjian yang ditetapkan oleh beberapa
negara secara terbatas kemudian diterima secara umum oleh negara-negara
lainnya, dan lalu menjadi mengikat berdasarkan kebiasaan internasional (custom).
Pasal 38 Konvensi Wina mengatur penyelenggaraan praktek ini, dengan
menentukan bahwa pasal-pasal 34 sampai dengan pasal 37 tidak dapat
46 Sudargo Gautama, Capita ... Op. Cit., halaman 6.
47 Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional. Bahan Pelajaran Hukum Perjanjian Internasional, Fakultas Hukum
Unpad, 1985, halaman 47.
24
mencegah ketentuan dalam suatu perjanjian untuk menjadi mengikat menurut
Hukum Internasional. Kadang-kadang kebiasaan internasional memainkan
peranan juga untuk meluaskan daya kerja suatu perjanjian. Di samping itu,
meskipun secara hukum suatu perjanjian tidak dapat mengikat negara-negara
bukan pe serta, negara-negara bukan peserta itu dapat menganggap ketentuanketentuan
suatu perjanjian sebagai kebiasaan yang mengikat. Suatu perjanjian
memang dapat menjadi bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima
sebagai hukum...".48
Persoalannya kemudian adalah, seberapa jauh suatu perjanjian internasional
tergolong perjanjian internasional yang mengikat negara-negara bukan peserta
atau pihak ketiga? Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa suatu perjanjian
internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak ketiga tanpa
persetujuan pihak ketiga tersebut.49 Memang pada perjanjian bilateral dan
multilateral lainnya yang tidak bersifat umum tidak dapat dipaksakan
kewajiban apa pun terhadap pihak ketiga, kecuali atas kehendak negara-negara
tersebut. Namun dalam hal perjanjian multilateral yang bersifat umum dan
membentuk hukum maka kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian
tersebut bukanlah semata-mata bersumber pada kehendak negara-negara
pembentuk perjanjian, tetapi bersumber kepada perjanjian sebagai "general
accepted principles of international law".
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah suatu perjanjian internasional
yang mendirikan organisasi internasional (PBB). Berdasarkan asas "pacta tertiis
nec nocent nec prosunt", maka perjanjian ini hanya mengikat terhadap negaranegara
anggota PBB, sedangkan negara-negara yang bukan peserta merupakan
"res inter alios acta". Akan tetapi Piagam PBB itu merupakan salah satu contoh
perjanjian multilateral yang sekaligus juga "law making treaty", yang dapat
mengikat negara bukan peserta.50
48 Budiono Kusumohamidjojo, Konvensi Wina ...., Op. Cit., halaman 31.
49 Pasal 34.
50 Lihat Budiono K., Op.cit., halaman 29 dst., Bandingkan Zakaria Samin, “Daya Mengikat…”
PADJADJARAN Op. cit., halaman 54. Pasal 2 ayat (6) Piagam PBB yang menyatakan: "The
Organization shall ensure that states which are not members of the United Nations act in
accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of
international peace and security".
25
Tentang mengikatnya suatu perjanjian internasional terhadap negaranegara
bukan peserta atau negara pihak ketiga, menurut hemat penulis harus
dilihat keadaan dari masing-masing perjanjian internasional bersangkutan.
Sebagai contoh umpamanya dalam hal perjanjian peralihan kekuasaan (succession
of states). Apakah negara yang menerima peralihan kekuasaan sebagai negara
bukan peserta perjanjian internasional juga akan terikat terhadap perjanjian
yang pernah dibuat oleh negara yang mengalihkan kekuasaan (predecessor
state)? Misalnya perjanjian yang pernah dibuat oleh Negeri Belanda dahulu
dengan negara lain, dimana Hindia Belanda juga terikat di dalamnya. Apakah
sesudah Indonesia menjadi negara merdeka masih terikat pada perjanjian yang
pernah diadakan oleh Pemerintah kolonial Hindia Belanda dahulu?
Sebagaimana telah diketahui bahwa pengaturan mengenai suksesi negara
(succession of states) sehubungan dengan perjanjian internasional tidak terdapat
di dalam Konvensi Wina 1969 tentang "The Law of Treaties".51 Masalah
suksesi negara selanjutnya diatur di dalam Konvensi tersendiri, yaitu Konvensi
Wina 1978.52 Batasan mengenai Succession of sates yang diberikan Konvensi
adalah: "... Succession of States means the replacement of one state by another in
the responsibility for the international relations of territory ...".53
Dalam rangka pembahasan mengenai seberapa jauh keterikatan negara
pengganti (successor state) terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
timbul dari perjanjian internasional yang dibuat oleh negara yang digantikan
(predecessor state), Konvensi menetapkan :
"... The obligations or rights of a predecessor state under treaties in force
in respect of a territory at the date of a succession of states do not become the
obligations or rights of the successor state towards other state parties to those
treaties by reason only of the fact that the predecessor state and the successor
51 Mengenai hal ini Bagian VI (pasal 73) Konvensi telah menyatakan: "The provisions of the
present Convention shall not prejudge any question that may arise in regard to a treaty from
a succession of states or from international responsibility of a state or from the outbreak of
hostilities between states".
52 Lengkapnya Konvensi itu berjudul: "Vienna Convention on Succession of States in
Respect of Treaties.
53 Pasal 2 ayat 1 (b) Konvensi Wina 1978.
26
state have concluded an agreement providing that such obligations or rights shall
develove upon the successor state...".54
Dari rumusan di atas dapat diperoleh pengertian bahwa hak-hak dan kewajibankewajiban
yang timbul dari perjanjian antara negara yang digantikan dengan
negara peserta lainnya, tidak mengikat terhadap negara pengganti.55 Ketentuan itu
selanjutnya menyatakan: "...kecuali apabila ada perjanjian antara negara
yang digantikan dengan negara pengganti mengenai penyerahan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban semacam itu...".
Bagaimana halnya dengan suksesi negara yang berlangsung di Indonesia
menyangkut perjanjian internasional yang pernah dibuat Pemerintah Kolonial
Belanda yang juga mengikat wilayah Hindia Belanda? Untuk membahas
mengenai persoalan ini, tentu saja harus beranjak dari Perjanjian Konferensi Meja
Bundar (KMB) antara Indonesia dan Kerajaan Belanda di Den Haag yang
dilangsungkan dari tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Berdasarkan KMB, Kerajaan Belanda secara resmi mengakui kedaulatan
Indonesia atas seluruh bekas wilayah Hindia Belanda dengan penangguhan
penyelesaian wilayah Irian Barat. Perjanjian KMB itu dilengkapi juga dengan
perjanjian peralihan.56 Selanjutnya kedudukan perjanjian internasional yang
dibuat oleh Pemerintah Belanda dalam hubungannya dengan negara Republik
Indonesia Serikat, diatur di dalam perjanjian peralihan tersebut.57 Teks asli dari
pasal 5 ayat (1 dan 2) perjanjian peralihan itu ditulis dalam Bahasa Belanda.
Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut :
1. Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Kerajaan Belanda berpengertian bahwa
dengan memperhatikan ayat kedua, segala hak dan kewajiban Kerajaan
disebabkan perjanjian-perjanjian dan persetujuan-persetujuan internasional
lainnya yang diadakan Kerajaan itu, hanya dapat dianggap sebagai hak dan
kewajiban RIS, sejauh perjanjian dan persetujuan tadi berlaku atas daerah
hukum RIS, kecuali hak-hak dan kewajiban dari perjanjian dimana RIS tidak
dapat menjadi pihak karena ketentuan perjanjian atau persetujuan tersebut;
54 Pasal 8 ayat (1) Konvensi Wina 1978.
55 Ketentuan tersebut sesuai dengan asas res inter alios acta.Bandingkan dengan pasal 34
Konvensi Wina 1969, yang menyatakan: "... A treaty does not create either obligations or
rights for a third State without its consent".
56 Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1950, LN No. 2 Tahun 1950.
57 Pasal 5 ayat (1 dan 2).
27
2. Tanpa mengurangi kekuasaan RIS untuk menyatakan penghentian perjanjian
dan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, atau
menghentikan berlakunya bagi daerah hukumnya dengan cara lain menurut
ketentuan perjanjian dan persetujuan tersebut, maka yang ditetapkan dalam
ayat pertama menjadi tidak berlaku, setelah terlebih dahulu diadakan
perundingan antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Memperhatikan ketentuan peralihan di atas, diperoleh kesan seolah-olah
semua perjanjian internasional yang pernah dibuat Kerajaan Belanda secara
langsung mengikat Pemerintah RIS sampai dihentikan berlakunya. Padahal
maksud dari ketentuan peralihan di atas hendak menunjukkan bahwa perjanjianperjanjian
internasional tidak secara langsung mengikat bekas wilayah jajahan
yang baru memperoleh kemerdekaan. Untuk terikatnya negara baru pada
perjanjian internasional semacam itu masih diperlukan pernyataan tegas dan
pengukuhan lebih lanjut dari pemerintah masing-masing negara.
Berkenaan dengan pasal peralihan dari Perjanjian KMB yang dikemukakan di
atas, RWG de Muralt,58 berpendapat, bahwa "...penekanan panafsiran atas
ketentuan itu jangan diletakkan pada perjanjian-perjanjian internasional itu
sendiri, melainkan pada hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian
tersebut...". Tidak semua perjanjian internasional itu berlaku bagi Indonesia,
apalagi dengan adanya klausula rebus sic stantibus, 59 pada ayat (2) pasal 5 di
atas. Di samping itu juga perlu diteliti masing-masing perjanjian internasional
bersangkutan. Oleh karena jika di dalam perjanjian internasional itu umpamanya
terdapat klausula yang menunjuk berlakunya perjanjian sebagian di
Amsterdam, maka perjanjian itu tidak dapat berlaku di luar Eropa.
Penulis dapat menyetujui pendapat de Muralt di atas, bahwa penekanan
penafsiran atas ketentuan perjanjian peralihan itu tidak diletakkan pada perjanjian
internasional itu sendiri, melainkan pada hak dan kewajiban yang timbul dari
58 Lihat D. Sidik Suraputra, "Sikap Indonesia terhadap Perjanjian Internasional yang dibuat
Pemerintah Belanda"; dalam Majalah Hukum dan Pembangunan. Nomor 3 Tahun ke IX,
Mei 1980, halaman 230.
59 In international law, a doctrine that terminates an agreement because of changed
circumstances, asserting that if the agreement is given continuing effect the results would
not be those originally contemplated by the parties. Lihat Peter J. Dorman (ed), Running Press
Dictionary of Law. 1976, halaman 139.
28
perjanjian tersebut. Dengan demikian atas dasar perjanjian peralihan itu,
perjanjian internasional yang pernah dibuat Kerajaan Belanda tidak secara
otomatis berlaku bagi Indonesia. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia sebaiknya
meneliti terlebih dahulu sebelum perjanjian-perjanjian internasional itu
dinyatakan mengikat.
Untuk dapat lebih memahami sikap Indonesia terhadap perjanjian
internasional yang pernah dibuat Kerajaan Belanda setelah pemutusan perjanjian
KMB, berikut ini diketengahkan sebuah contoh kasus mengenai ekstradisi.
Ketika Pemerintah Kerajaan Belanda berkuasa di Hindia Belanda, pernah
mengadakan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara.60 Satu diantaranya
dibuat dengan Britania Raya atau Inggris pada tahun 1898, yang disebut The
Anglo-Netherlands Extradition Treaty. Pada waktu perjanjian itu dibuat
Singapura merupakan koloni Inggris. Adapun kasus ekstradisi yang dimaksud
dalam rangka mengkaji penerapan pasal 5 perjanjian peralihan KMB adalah kasus
ekstradisi Kapten Westerling.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Kapten Raymond Paul Pierre
Westerling, adalah pelaku pembantaian terhadap rakyat Indonesia yang tidak
berdosa di Bandung dan Makassar pada bulan Februari 1950. Setelah
peristiwa itu Westerling kemudian melarikan diri ke Singapura. Bagi bangsa
Indonesia Westerling adalah seorang penjahat yang melarikan diri. Sedangkan
Singapura waktu itu masih merupakan bagian dari koloni Inggris. Oleh karena
itu, pada bulan Februari 1950 pemerintah Indonesia meminta kepada pemerintah
Inggris agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Permintaan Indonesia kepada
Inggris itu atas dasar perjanjian ekstradisi antara Inggris dengan Belanda tahun
1898. Akan tetapi tuntutan pemerintah Indonesia tidak dikabulkan.61 Alasannya
60 Diantaranya perjanjian ekstradisi dengan Spanyol, Belgia, Kongo-Belgia dan daerah
Rwanda-Burundi, Denmark, Liberia, Portugal Italia, Kerajaan Jerman, Republik Prancis,
Britania Raya dan untuk beberapa daerah mandat Swiss, Amerika Serikat, Meksiko,
Chekoslovakia, Finlandia, dan Irlandia. Lihat M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan
Jaminan Perlindungan atas Hak-hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980,
halaman 11-13
61 Pengukuhan tidak dikabulkannya ekstradisi Westerling ke Indonesia dijatuhkan melalui
putusan Hakim Evans dari High Court of Singapore, tanggal 15 Agustus 1950. Putusan
29
karena penyerahan Westerling bukan wewenang Inggris, melainkan wewenang
pemerintah Singapura; Akan tetapi Inggris mengakui Indonesia sebagai pihak
dalam Perjanjian Ekstradisi tahun 1898 yang diadakan antara Pemerintah
Hindia Belanda dengan Inggris.62
Berkaitan dengan uraian di atas, Konvensi Den Haag 1971 tentang
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Hakim Asing dalam perkara Perdata dan
Dagang, tidak termasuk kategori perjanjian multilateral yang mengikat pihak
ketiga. Artinya, konvensi ini hanya mengikat negara-negara peserta, baik negaranegara
perunding maupun negara-negara pengikut serta.63 Hal itu
disebabkan konvensi sendiri tidak menyebutkan tentang adanya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi negara pihak ketiga. Dengan kata lain, bagi Indonesia
Konvensi Den Haag tahun 1971 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Hakim Asing dalam perkara Perdata dan Dagang adalah res inter alios acta.
Di samping itu dari Artikel 30 konvensi Den Haag dapat diketahui:
"... Any State may, at the time of signature, ratification or accession,
declare that this Convention shall extend to all the territories for the
international relations of which it is responsible, or to one or more of them...".
Hal itu berarti bahwa untuk dapat terikat oleh konvensi tersebut setiap
negara bukan perunding harus terlebih dahulu melakukan pengikutsertaan
(accession). Andaikata Indonesia turut menandatangani Konvensi Den Haag
1971 di atas, berarti keputusan-keputusan hakim Indonesia dalam perkaraperkara
perdata dan dagang akan dapat dilaksanakan pada negara-negara peserta
konvensi lainnya. Demikian pula sebaliknya, keputusan-keputusan hakim asing
juga akan dapat dilaksanakan di Indonesia, jika pihak yang kalah dalam sengketa
perdata itu mempunyai sejumlah aset di dalam wilayah Indonesia. Dengan
Pengadilan Tinggi Singapura itu tetap dijatuhkan kendati Kementrian Luar Negeri Inggris
secara tegas menyatakan bahwa perjanjian ekstradisi itu tetap berlaku dengan RIS.
62 Lihat Komar, Hukum Internasional Lanjutan (Cases and Materials) I, Pendidikan
Lanjutan/Penataran Hukum Internasional, FH-Unpad, Bandung, 1980, halaman 47a-47j;
sebagaimana dikutip Zakaria Samin, “Daya Mengikat ...” PADJADJARAN Op. Cit.,
halaman 60-61.
63 Negara pengikut serta adalah negara yang tidak ikut dalam perundingan, tetapi diundang oleh
negara-negara perunding untuk menjadi peserta pada perjanjian. Lihat Budiono K., Op. Cit.,
halaman 7.
30
demikian hubungan internasional menyangkut proses peradilan, diharapkan akan
lebih efisien. Oleh karena, pihak yang telah dimenangkan tidak perlu lagi
mengajukan perkara yang sama di depan pengadilan di Indonesia, hanya karena
putusan hakim asing tidak dapat dimintakan pelaksanaannya di dalam wilayah
hukum Indonesia. Akan tetapi sebagai negara pihak ketiga, politik hukum dari
pemerintah Indonesia belum memandang perlu untuk ikut serta pada konvensi
Den Haag 1971.
V. HARMONISASI KAIDAH HUKUM DI ANTARA NEGARANEGARA
ASEAN SEBAGAI BENTUK KERJASAMA SEKAWASAN
Agaknya, bagi Indonesia akan lebih berdaya guna apabila lebih
mengoptimalkan upaya kerjasama, khususnya dalam bidang hukum di antara
negara-negara anggota ASEAN. Kerjasama tersebut pada gilirannya akan
menyongsong terwujudnya harmonisasi hukum di antara negara-negara
anggota ASEAN. Harmonisasi hukum dimaksud dapat digambarkan sebagai suatu
upaya yang dilaksanakan dengan proses untuk membuat hukum nasional dari
negara-negara anggota ASEAN mempunyai prinsip atau pun pengaturan yang
sama tentang masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya.64
Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan
penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi
kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan
perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hukum yang
berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubungan-hubungan hukum
yang diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam
penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain.65
64 Lihat Komar Kantaatmadja, “Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN”. Kertas Kerja
Pada Simosium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negaranegara
Asean dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993,
halaman 3-4.
65 Lihat E. Saefullah, “Harmonisasi Hukum di antara Negara-Negara Anggota ASEAN”;
Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi
Antara Negara-Negara ASEAN dalam rangka AFTA; Fakultas Hukum UNPAD, Bandung,
1 Februari 1993, halaman 1.
31
E. Saefullah selanjutnya mengemukakan bahwa: Sebagai landasan untuk
melaksanakan kerjasama hukum antara negara-negara anggota ASEAN terdapat
dalam the Bangkok Declaration of 1967 sebagai dokumen resmi yang
mendirikan ASEAN. Pasal 2 sub 2 dari Deklarasi ini menyatakan bahwa
maksud dan tujuan organisasi ini, antara lain, "... to promote regional peace
and stability through abiding respect for justice and the rule of law in the
relationship among countries of the region and adherence to the principle of
the United Nations Charter...".66
Langkah ke arah kerjasama yang ditempuh berikutnya antara lain
Kesepakatan Bali yang dituangkan dalam ASEAN Concord of 1976. Kesepakatan
tersebut menegaskan bahwa dalam pelaksanaan kerjasama di antara negara
anggotanya, perlu ditetapkan mengenai "... study on how to develop judicial
cooperation including the possibility of an ASEAN Extradition Treaty..."67
Namun realisasi kerjasama hukum untuk mencapai harmonisasi hukum di antara
negara-negara anggota ASEAN itu memang tidak mudah. Oleh karena setiap
negara anggota ASEAN harus berusaha untuk saling memahami bahwa kesepuluh
negara anggota ASEAN itu memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar
dilihat dari segi latar belakangnya baik sejarah, hukum, maupun budayanya.
Pluralisme sistem hukum di kawasan ASEAN merupakan salah satu
kendala dasar. Oleh karena itu upaya-upaya dan perkembangan yang dicapai
organisasi negara-negara ini tidak secerah dan secepat yang dicita-citakan.
Terdapatnya prinsip-prinsip yang sama saja sudah merupakan keberhasilan,
walaupun pelaksanaan pengaturannya masih bervarietas karena kondisi
setempat.
Berbagai upaya sebagai tindak lanjut dari berbagai kesepakatan di atas
terus dilakukan. Diantaranya, pertemuan para Menteri Kehakiman dan Jaksa
Agung se-ASEAN di Bali pada tanggal 11-12 April 1986, telah menghasilkan
dokumen ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangament
66 Ibid., halaman 3.
67 E. Saefullah, Op. Cit., halaman 3.
32
for Cooperation in the Legal Field. Dari pertemuan itu paling tidak telah dicapai
tiga aspek kerjasama bidang hukum di antara negara-negara ASEAN. Ketiga
aspek tersebut adalah: (i) pertukaran bahan hukum; (ii) kerjasama di bidang
peradilan; dan (iii) kerjasama di bidang pendidikan hukum dan penelitian.
Sebenarnya aspek kerjasama yang kedua yakni kerjasama di bidang
peradilan telah lama dirintis oleh Indonesia dengan Kerajaan Thailand dalam
bentuk perjanjian bilateral. Kerjasama bilateral dalam bidang peradilan antara
antara Indonesia dengan Kerajaan Thailand telah dicapai jauh sebelum adanya
Dokumen ASEAN Miniterial Understanding on the Organizational
Arrangement for Cooperation in the Legal Field of 1986, yang antara lain
menghasilkan tiga aspek kerjasama. Agreement on Judicial Cooperation between
the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand of 1978, telah
dicanangkan sebagai suatu model bagi kesepakatan berikutnya di antara negaranegara
anggota ASEAN lainnya.
VI. PERJANJIAN KERJASAMA BIDANG PERADILAN ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN THAILAND
TAHUN 1978 SEBAGAI MODEL KONVENSI ASEAN
Kerjasama dalam bidang hukum acara perdata atau bidang peradilan
yang bersifat multilateral, belum banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,
kalau tidak dikatakan tidak pernah ada sama sekali. Namun tanpa mengecilkan
arti sebuah kerjasama, pada tingkat regional ASEAN hal itu telah lama dirintis.
Dapat disebutkan di sini yaitu: "Perjanjian Kerjasama di Bidang Peradilan
antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand" (Agreement on Judicial
Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of
Thailand) 1978.
Kesepakatan kerjasama tersebut didasarkan atas ASEAN Concord of
1976 yang ditandatangani di Bali dan merupakan dasar bagi dilakukannya
kerjasama dalam bidang hukum antara negara-negara ASEAN.68
68 Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional.Bandung: Alumni,
1980, halaman 70. Bandingkan E. Saefullah, Op. Cit., halaman 3.
33
Perjanjian kerjasama bilateral dalam bidang peradilan itu merupakan
upaya yang pertama kali dirintis. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal
8 Maret 1978 di Bangkok Thailand. Selanjutnya diratifikasi oleh kedua negara.
Masing-masing negara diwakili oleh Prof.DR. Mochtar Kusumaatmadja (Menteri
Kehakiman RI) dan DR. Upadit Pachariyangkun (Minister of Foreign Affairs the
Kingdom of Thailand).
Dilihat dari luas lingkup materi kerjasama yang disepakati, memang tidak
terlalu luas. Bidang cakupannya baru meliputi beberapa hal tertentu saja, yakni
menyangkut pemberian dan permintaan bantuan dalam penyampaian
dokumen-dokumen pengadilan serta alat-alat bukti perkara perdata oleh pihak
Indonesia kepada pengadilan di luar negeri dan sebaliknya. Sehingga sejak saat
itu pengadilan di Indonesia memiliki kewajiban untuk melayani segala
permintaan dari pengadilan di Thailand berkaitan dengan hal bersangkutan.
Begitu pula sebaliknya, pengadilan di Thailand memiliki kewajiban yang sama
secara bertimbal balik.
Tujuan dari diadakannya perjanjian bilateral tersebut antara lain untuk
mempermudah cara penyampaian panggilan dan pemberitahuan resmi dalam
perkara perdata yang harus dilakukan apabila pihak yang bersangkutan berada di
luar negeri. Di samping itu, perjanjian tersebut diharapkan dapat menjadi suatu
model bagi perjanjian-perjanjian berikutnya diantara sesama negara anggota
ASEAN lainnya. Oleh karena tercapainya harmonisasi hukum di antara negaranegara
anggota ASEAN merupakan harapan setiap anggotanya. Dengan
kerjasama semacam itu pada hakekatnya akan mempermudah lalu lintas bidang
hukum dan menghapuskan berbagai rintangan yang sering dijumpai di dalam
praktik, khususnya dalam bidang peradilan.
Pihak-pihak dalam perjanjian, yakni Republik Indonesia dan Kerajaan
Thailand menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyampaian dokumen-dokumen
resmi pengadilan harus dihindari agar tidak melalui saluran diplomatik. Oleh
karena itu, masing-masing pihak menunjuk suatu badan khusus yang dinamakan
34
Central Authority.69 Badan itulah yang menentukan instansi yang akan
mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen pengadilan dan
panggilan atau surat permohonan untuk memperoleh bukti-bukti. Instansi
tersebut untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jendral Pembinaan Badan
Peradilan Umum Departemen Kehakiman dan untuk Kerajaan Thailand adalah
Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.70
Pihak Indonesia dan Thailand juga menyepakati untuk menghilangkan
berbagai formalitas serta syarat legalisasi terhadap dokumen yang berasal dari
luar negeri yang akan dipergunakan di hadapan pengadilan di dalam negeri.71
Persoalannya adalah, bahwa legalisasi itu seringkali justru menjadi faktor
penghambat bagi perolehan dokumen resmi dari luar negeri tersebut. Khusus
mengenai syarat legalisasi dokumen itu, Konferensi Hukum Perdata Internasional
Den Haag juga telah menyepakati sebuah Konvensi yang menghapuskan
syarat legalisasi. Kemudian syarat legalisasi itu diganti dengan sebuah
"Apostille", yaitu secarik keterangan yang ditempelkan kepada dokumen
bersangkutan.72 Dengan demikian akan dapat dihindarkan segala kewajiban
untuk mengadakan legalisasi yang bertele-tele, memakan biaya, dan waktu.
Perjanjian kerjasama pun menetapkan bahwa permohonan penyampaian
dokumen untuk memperoleh bukti-bukti dibatasi oleh asas ketertiban umum
yang berlaku pada masing-masing negara. Artinya, perjanjian itu akan
dilaksanakan apabila permohonan penyampaian dokumen untuk memperoleh
bukti-bukti itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, atau merugikan
kedaulatan atau keamanan negara yang bersangkutan.73
Seberapa jauh pelaksanaan perjanjian ini telah efektif bagi pihak-pihak,
tentu perlu penelitian yang seksama. Namun, Sudargo Gautama pernah
69 Lihat pasal 3 Perjanjian Bilateral RI-Thailand, Tahun 1978.
70 Pasal 3 ayat (2).
71 Pasal 6 ayat (1) menetapkan: "(1) The Authority of the Party in which the documents
originate shall forward the request to the Authority of the other Party without any
requirement of legalization or other like formality"
72 Sudargo Gautama, Pemberian dan Permintaan Bantuan dalam Penyampaian Dokumen-
Dokumen Pengadilan serta Alat-alat Bukti Perkara Perdata oleh pihak Indonesia kepada
Pengadilan luar negeri dan sebaliknya. Kertas Kerja pada Lokakarya Hukum Acara
Perdata, BPHN, 6-7 Desember 1984, halaman 8.
35
menyatakan bahwa: "... dalam praktik realisasinya masih belum adanya kasuskasus
konkrit berkenaan dengan pelaksanaan dari persetujuan internasional
itu...".74 Kendati demikian, paling tidak perjanjian bilateral ini akan menjadi
model bagi terbentuknya Konvensi Kerjasama khusus antara negara-negara di
lingkungan ASEAN.
Walaupun kenyataannya kerjasama bilateral tersebut masih belum
berdaya guna dan berhasil guna, tidak berarti hal itu kurang bermanfaat. Lebih
jauh, dalam rangka mengakomodasi kepentingan Indonesia sebagai anggota
masyarakat internasional yang terhimpun di dalam suatu kawasan atas dasar satu
atau beberapa kepentingan yang sama, seperti halnya di dalam ASEAN
dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area) kemudian sebagai salah satu negara di
kawasan Asia Pasifik dengan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) maka
Indonesia perlu mendukung upaya harmonisasi hukum dan unifikasi kaidah
hukum melalui berbgai perjanjian internasional semacam di atas. Hal itu
diperlukan dengan maksud paling tidak dalam Hukum Perdata ada
persamaan-persamaan mendasar yang akan memudahkan pengaturan
kemudian segala sesuatu yang menyangkut hal ihwal hubungan perdata dan
perdagangan.75
Munculnya sengketa-sengketa perdagangan di antara negara-negara
anggota ASEAN dengan adanya AFTA maupun di antara negara-negara anggota
APEC, harus diantisipasi sejak dini. Oleh karena sangat besar kemungkinan
terjadi suatu sengketa dagang diputus oleh pengadilan di salah satu negara
anggota perhimpunan di atas, kemudian putusan tersebut dimintakan untuk
dieksekusi pada negara lainnya. Kenyataan serupa itu menuntut adanya
kerjasama regional dalam bidang peradilan, khusunya menyangkut pengakuan
serta pelaksanaan putusan hakim asing.
73 Pasal 15 ayat (1c).
74 Lihat Sudargo Gautama, “Pemberian Permintaan Bantuan …”. Op. Cit.,. halaman 3.
36
VII. P E N U T U P
Mengakhiri paparan di atas, sekaligus penutup tulisan ini, ada beberapa
hal yang perlu kiranya difikirkan lebih lanjut dalam rangka pembinaan dan
pembangunan pranata hukum di Indonesia khususnya. Harapan penulis, kiranya
pemerintah tidak terlambat untuk menentukan langkah penataan berbagai pranata
hukum di negeri ini menjelang tibanya arena mondialisasi perniagaan.
Pertama, Menyongsong tibanya era mondialisasi perniagaan dimana
batas-batas teritorial suatu negara semakin imajiner, setiap negara tidak terkecuali
Indonesia harus menyiapkan berbagai instrumen guna mendukung lancarnya
interaksi antar masyarakat dari berbagai kawasan. Sudah barang tentu perangkat
norma sebagai salah satu instrumen untuk bidang hukum juga sangat mendesak
untuk dipersiapkan secara baik. Hal itu demikian penting, oleh karena dalam
aktivitas perniagaan barang dan jasa yang menjadi ciri utama masyarakat global,
jika muncul kasus-kasus sengketa komersial, maka para pelaku niaga menuntut
penyelesaian yang serba cepat, tepat, dan sekaligus akurat.
Kedua, Mencermati kemungkinan-kemungkinan sebagaimana
digambarkan di atas, sudah tentu tuntutan dari masyarakat perniagaan adalah
sesuatu yang tidak mungkin diabaikan oleh setiap pemerintah negara-negara.
Dengan demikian upaya penataan atas berbagai lembaga dan pranata hukum guna
menunjang kondisi di atas mendesak untuk dilakukan. Untuk kasus Indonesia.
model penataan pranata hukum melalui metode kodifikasi yang selama ini
dijalankan acapkali dituding sebagai terlalu lamban, sehingga perangkat kaidah
hukum senantiasa tertinggal dari faktanya. Ada sejumlah alasan mengapa
penataan kaidah hukum melalui kodifikasi itu demikian? Satu diantaranya adalah
karena untuk menyusun satu Undang-undang memerlukan proses panjang dan
biaya yang tidak sedikit. Padahal ketika Undang-undang tersebut diundangkan
boleh jadi fakta dan tuntutan masyarakat yang dinamis itu sudah sangat berubah
dan berbeda.
75 Lihat Mochtar Kusumaatmadja, “Sambutan Pengarahan dalam Simposium Nasional Aspekaspek
Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-Negara Asean dalam rangka AFTA”.
37
Ketiga, Atas dasar alasan di atas, bijaksana kiranya manakala model
penataan dan pembinaan hukum yang seyogianya dilakukan pemerintah
Indonesia tidak semata-mata mengandalkan model kodifikasi. Tindakan ratifikasi
atas berbagai perjanjian internasional multilateral maupun pembuatan perjanjian
bilateral dengan negara-negara sahabat adalah conditio sine qua non untuk lebih
banyak dilakukan Indonesia dalam menyongsong masa-masa mendatang dengan
permasalahan yang semakin kompleks. Perjanjian internasional semacam itu di
harapkan lebih akomodatif sebab biasanya substansinya telah secara spesifik
mengatur suatu hal tertentu. Dengan demikian pada gilirannya kesepakatan
semacam itu akan mampu meminimalisasikan berbagai kesenjangan.
Keempat, Pembuatan perjanjian internasional dengan negara-negara di
kawasan ASEAN yang telah dirintis selama ini, agaknya perlu terus dilanjutkan
oleh Indonesia. Di samping dalam rangka melakukan upaya harmonisasi kaidahkaidah
hukum di antara negara-negara dengan sistem hukum yang berlainan, juga
upaya ke arah mewujudkan suatu konvensi ASEAN dalam rangka
menanggulangi masalah-masalah hukum bersama sehubungan dengan efektifnya
kesepakatan AFTA mendatang. Seandainya model Konvensi ASEAN dapat
diwujudkan, maka diharapkan dalam lingkup yang lebih luas juga dapat pula
dilakukan. Menyiapkan pemenyusunan Konvensi APEC adalah upaya lain yang
lebih luas, karena masalah yang akan muncul dalam kerangka interaksi di antara
negara-negara yang berhimpun dalam kesepakatan Asia Pacific Economic
Cooperation juga akan sangat kompleks.
Kelima, Apabila upaya-upaya penyeragaman pranata hukum lewat
kesepakatan antara negara-negara dalam memecahkan berbagai masalah yang
muncul dapat dilakukan melalui cara-cara di atas, maka kesenjangan
penyelesaian sengketa disebabkan karena perbedaan sistem hukum, diharapkan
akan dapat ditanggulangi. Pada gilirannya tindakan ratifikasi atas perjanjian
internasional multilateral atau pembuatan perjanjian bilateral akan mampu
menjadi instrumen harmonisasi hukum di antara negara-negara kendati berlainan
sistem hukumnya.
Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1 Februari 1993; halaman 4.
38
DAFTAR BACAAN
AGRAWALA, S.K., (eds.) Essays on the Law of Treaties. Orient Longman: New Delhi, 1972.
BROWNLIE, Ian, Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford, 1974.
BUDIARTO, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak- Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
DORMAN, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976.
GAUTAMA, Sudargo, Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1980.
--------------------------, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1983.
--------------------------, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku Kedelapan). Bandung: Alumni, 1987.
--------------------------, “Pemberian dan Permintaan Bantuan dalam Penyampaian Dokumen-Dokumen Pengadilan serta Alat-Alat Bukti Perkara
Perdata oleh Pihak Indonesia kepada Pengadilan Luar Negeri dan Sebaliknya”; Kertas Kerja pada Lokakarya Hukum Acara Perdata, BPHN, Jakarta, 6-7 Desember 1984, halaman 8.
IATRIDOU, D. Kokini et al., “Recognition and Enforcement of Foreign Judgments in Civil and Commercial Matters”; di dalam Netherlands Reports to the twelfth International Congress of Comparative
Law. Sydney-Melbourne, 1986; TMC Asser Institute, The Hague, 1987.
KANTAATMADJA, Komar, “Harmonisasi Hukum Negara-Negara ASEAN”; Kertas Kerja pada Simposium Nasional Aspek-aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-negara ASEAN dalam rangka AFTA. Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 1 Februari 1993.
KOMAR, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bahan Pelajaran Hukum Perjanjian Internasional, FH Unpad, Bandung, 1985.
KUSUMAATMADJA, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978.
KUSUMOHAMIDJOJO, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional
Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986.
RAHARDJO, Satjipto, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan PERSPEKTIF. Volume 2 Nomor 2 Edisi Juli Tahun 1997 , halaman 8.
SAEFULLAH, E., “Harmonisasi Hukum di antara Negara-Negara anggota ASEAN”; Kertas Kerja pada
Simposium Nasional Aspek-Aspek Hukum Kerjasama Ekonomi antara Negara-Negara Anggota
ASEAN dalam rangka AFTA. Fakultas Hukum Unpad, 1 Februari 1993.
STARKE, J.G., Introduction to International Law (Ninth Edition). London: Butterworths, 1984.
SURAPUTRA, D. Sidik, “Sikap Indonsia terhadap Perjanjian Internasional yang dibuat Pemerintah Belanda”; dalam Majalah HUKUM dan PEMBANGUNAN, Nomor 3 Tahun ke IX, Jakarta, Mei 1980.
TSANI, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.
VILLIGER, Mark E. Customary International Law and Treaties. Martinus Nijhoff Publishers, 1985.
SAMIN, Zakaria, “Daya Mengikat Perjanjian Internasional terhadap Negara Bukan Peserta”; dalam Majalah Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat PADJADJARAN, Kuartal II, Nomor 2, April-Juni 1981, halaman 49-65.
sumber : http://www.gudang-hukum.co.cc/2010/10/perjanjian-internasional-sebagai-model.html
0 komentar:
Posting Komentar