Rabu, 20 April 2011

Begawai, asal usul-ulun lampung, dan Falsapah ulun lampung part II

Jika anda memiliki akun twitter dan anda sedang membukanya, So Please klik link:


Jika anda sedang membuka akun fb dan ingin mengirim alamat posting ini kedinding anda, silahkan klik jempol dibawah:


PROSESI ANUGERAH GELAR ADAT (Begawai)

oleh : Forum adat lampung
Dalam adat lampung  seseorang harus mempunyai gelar atau adok yang akan diberikan pada saat mereka akan menikah. Orang lampung/ulun lampung pada saat menikah selain mengikuti dan memenuhi aturan agama dan aturan pemerintah maka orang tersebut akan mengikuti prosesi adat pemberian gelar yaitu dengan tabuh canang.

Syarat seseorang yang akan mendapat gelar dalam prosesi akad nikah adalah dengan mesol kerbau horek (memotong kerbau hidup) atau dengan cara memotong kerbau mati artinya mengganti kerbau hidup tersebut dengan seekor kambing tetapi dengan menambahkan uang adat sebesar 12. 000, jika syarat-syarat tersebut sudah dipenuhi maka selanjutnya akan dilakukan nitik canang sebagai tanda pengesyahan penganugerahan gelar adat tersebut. Satu ekor kerbau hidup tersebut dapat dipaki untuk memberi gelar sebanyak lima orang yang masih dalam satu keluarga. Seseorang yang akan diberi gelar harus memberi tahu penyimbang-penyimbang marga lima kebuayan atau minimal kepada penyimbang marganya saja. Biasanya yang melakukan nitik canang tidak penyimbang marganya langsung tetapi diwakili oleh pengelaku (pengelaku adalah orang yang ditunjuk/dipercaya oleh penyimbang marga dalam urusan adat).

Sebelum prosesi akad nikah terlebih dahulu akan dilaksanakan sujud yaitu pihak calon mempelai pria menjemput mempelai wanita dikediaman mempelai wanita. Pada acara sujut ini akan dilakukan prosesi penganugerahan gelar oleh pihak keluarga mempelai wanita. Pihak keluarga mempelai wanita mengumpulkan penyimbang-penyimbang marga dan warga adatnya kemudian menerangkan gelar adat yang diberikan. Yang diberi glear adat terlebih dahulu adalah mempelai wanitanya baru kemudian mempelai laki-lakinya. Jika kedua mempelai tersebut berasal dari satu kampung tetapi beda penyimbang marga maka mereka akan gelar/adok yang berbeda dimasing-masing kampung. Jika prosesi penganugerahan gelar (nitik canang) sudah selesai maka orang tersebut resmi memiliki gelar/adok. Adok bagi masyarakat adok menandakan seseorang sudah menikah yang pria menjadi prabatin laki-laki (prabatin ragah) dan yang wanita menjadi prabatin perempuan (prabatin sebai) atau tulak hanau.

A. Begawi
Begawi adalah proses pengambilan kedudukan kepunyimbangan dalam adat lampung lima kebuayan. Ada tiga sebab melakukan begawi adat

1. Begawi Nyusuk
Begawi nyusuk adalah salah satu prosesi pemberian gelar adat yang dilakukan untuk seseorang yang belum menjadi anggota masyarakat adat/suku lampung.
Syarat :
o Harus diakui oleh penyimbang marga di 5 (lima) kebuayan melalui sidang adat
o Setelah itu penyimbang marga 5 (lima) kebuayan memanggil penyimbang-penyimbang tiuhnya untuk memberitahu dan mengadakan musyawarah, setelah itu baru seseorang yang akan melakukan begawi diberitahu syarat-syarat untuk melakukan begawi adat tersebut.
Syarat Begawi Nyusuk :
o Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat batang pekalan
o Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat tajing Belakat
o Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat sesat
o Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat rumah
o Memotong 1 ekor kerbau untuk membuat pepadun
Dalam begawi ini seseorang wajib memotong kerbau 1 ekor dan yang lainnya dapat diganti dengan uang yang besaranya sesuai dengan kesepakatan hasil musyawarah.

2. Begawi Mancor Zaman
Begawi ini dapat dikatakan begawi yang dilakukan oleh sebuah keluarga yang dari zaman ke zaman (mulai dari kakek sampai orang tuanya) sudah pernah melakukan begawi sehingga ketika orang tersebut akan melaksanakan begawi lagi untuk anak keturunannya inilah yang disebut begawi Mancor Zaman. Dengan demikian Begawi mancor zaman juga dapat dikatakan begawi pelimpahan jabatan oleh seorang penyimbang marga kepada anak keturunannya.

Syarat Begawi Mancor Zaman :
o Memotong Kerbau Hidup
o Duit sidang adat
o Duit penumbukan
o Duit tambulan
o Duit Kerbau Tiuh


3. Begawi Pepadun Kamah/Basuh Pepadun
Begawi pepadun kamah/basuh pepadun merupakan salah satu macam prosesi begawi dalam adat lampung di 5 (lima) kebuayan dilakukan karena ada seseorang/anggota dalam kebuayan tersebut melakukan pelanggaran dalam tatacara adat lampung. Ada dua macam cara melaksanakan begawi ini yaitu dengan cara melakaukan begawi sendiri dengan memotong kerbau hidup atau menumpang/ikut pada begawi orang lain dengan cara membayar kebau mati sebesar 1.200.000.


B. Begawi Adat Miji/Begawi Adat Sendiri
Begawi adat miji dilakukan oleh seseorang yang ingin memisahkan diri dari pepadun yang mereka gunakan selama ini. Dalam adat lampung di lima kebuayan jika seseorang melakukan pelanggaran/perbuatan yang kurang baik maka satu marga akan ikut terkena dampaknya sesuai peraturan adat. Salah satu tujuan dari begawi adat miji ini adalah seseorang ingin memisahkan diri sehingga jika dikemudian hari dia melakukan kesalahan/pelanggaran maka hanya dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Persyaratan untuk melakukan gawi adat miji adalah harus kesepakatan kedua belah pihak yang akan memisahkan diri, disyahkan oleh penyimbang marga lima kebuayan serta menyiapkan biaya-biaya yang dibutuhkan.

Dua dari tiga macam begawi yang berlaku di 5 (lima) kebuayan yaitu begawi nyusuk, mancor zaman dan begawi basuh pepadun/pepadun kamah adalah begawi yang dilakukan untuk pemberian gelar adat lampung. Jika seorang anggota/anak buah dari suatu marga ingin mendapatkan gelar adat maka penyimbang marganya akan memanggil penyimbang-penyimbang marga di lima kebuayan serta memberi tahu penyimbang tiuh/pepadun untuk kemudian mengadakan rapat adat dan kemudian menerangkan syarat-syarat kepada yang bersangkutan. Setelah proses-proses tersebut sudah dilaksanakan maka kemudian penyimbang marga menunjuk pengelaku marga yaitu orang dipercaya oleh penyimbang marga untuk mengatur jalannya prosesi adat begawi dari awal hingga akhir. Dalam acara begawi terdapat istilah-istilah antara lain injak batin dan pasuwa. Injak batin adalah prosesi gawi yang menampilkan tari-tarian atau nigol kemudian orang yang nigol tersebut akan diberikan uang dalam amplop oleh para pengelaku. Pasuwa merupakan puncak gawi nibah dipanca haji dihadiri oleh penyimbang marga 5 kebuayan dimana jempana pepadun atau penyimbang tiuh memasuki sesat dan duduk didalam kuade. Ciri dari pasuwa adalah adanya buah penjarau (panjat pinang), buah penjarau tersebut menunjukkan jumlah orang yang akan digawikan atau yang akan mendapat gelar adat saat itu sampai cakak pepadun.


4. PROSESI BEGAWI

A. Syarat-syarat Begawi
1. Membuat sesat (panggung adat) yang ditutup dengan kain putih
2. Membuat penjarau (batang pinang) yang akan dipanjat pada saat acara begawi. Penjarau ini digunakan sebagai acara hiburan bagi orang-orang yang sudah lelah bekerja mempersiapkan acara begawi tersebut.
3. Apabila yang melaksanakan begawi adalah penyimbang marga maka jumlah penjaraunya ada 4 ditambah 1 kayu wara dan 1 panca haji. Jika bukan penyimbang maka hanya ada 2 penjarau saja.
4. Menyiapkan duit adat untuk penyimbang marga atau raja
a) Bia gawi Rp. 120.000
b) Pesakin mengan
c) Pesakin pedom
d) Emas
e) Tapis cakah

B. Pra Begawi
Sebelum suatu marga/kebuayan melaksanakan begawi adat yang dilakukan adalah :
1. Ngolom (memberitahu dan ngundang) penyimbang-penyimbang kampung/lebu serta penyimbang marga lima kebuayan. Pada saat ngolom yang harus dibawa adalah dodol dan duit adat sebesar 24.000
2. Sidang adat didalam marga yang dihadiri oleh perwakilan 5 (lima) kebuayan
3. Sidang penentuan bia/biaya penumbukan
4. Menentukan waktu canggot (canggot matah, canggot agung dan canggot congggong)
5. Pengelaku sudah dapat mulai bekerja yaitu membuat sesat yang dibuat/dibagi menjadi kamar-kamar atau bilik. Sesat yang sudah dibuat dibagi menjadi tiga bagian yaitu pertama Arob tempat muli meranai raja ketika canggot, kedua lapang agung adalah tempat muli meranai pepadun dan yang ketiga buntut tempat muli meranai injak batin duduk ketika acara adat atau canggot.

C. CANGGOT
1. Canggot Matah
Canggot matah adalah dimana para pengelaku melakukan latihan acara adat misalnya latihan pisaan untuk anak-anak raja atau penyimbang marga. Pada canggot matah ini pakaian peserta canggot belum ditentukan artinya bebas tapi sopan.

2. Canggot Agung
a. Canggot Agung Muli Meranai
Pada saat canggot agung ini maka tata tertib adat sangat berlaku dan setiap warga adapt harus menurunkan muli meranai (pemuda/pemudinya) apabila tidak maka akan diproses secara adapt dan jika terdapat kesalahan pepadunya dianggap kotor/cacat.
• Pakaian perempuan pakaian kebaya, pakai kain tapis dan lain-lain
• Laki-laki pakai celana panjang, kopiah, pakai kai/simpor
• Mengumpulkan muli meranai (pemuda dan pemudi) di tempat rajanya/penyimbang marganya masing-masing atau tempat yang sudah ditunjuk. Kemudian pengelaku muli meranai yang melaksanakan begawi akan menjemput untuk dikumpulkan di lokasi begawi.
• Debahko muli meranai (pemuda dan pemudi), muli meranai yang dijemput dikumpulkan. Acara ini dibagi tiga tahap, pertama injak batin yang diturunkan adalah pemuda/pemudi yang belum pesuwa pepadun atau belum begawi belum ada kedudukan dalam adat kepunyimbangan pakaian yang digunakan berwarna merah. Kedua Injak pepadun bersih untuk pemuda/pemudi yang orangtuanya sudah naik pepadun pakaian yang digunakan berwarna kuning kemudian yang ketiga Injak penyimbang marga yaitu pemuda/pemudi anak raja atau anak penyimbang marga pakaian yang digunakan adalah putih. Ketika muli meranai itu sampai dilokasi maka akan disambut dengan tabuhan musik adat yang masing-masing mempunyai karakter. Jika Injak batin suara tabuhannya disebut tawak-tawak rua “gang-gung”. Injak pepadun tabuhannya tawak-tawak rua canang rua “gang-gung tang ting” dan jika Injak penyimbang marga cukup dengan canang rua “tang-ting”. Muli meranai yang diturunkan memasuki lokasi canggotnya akan berbeda-beda, injak batin masuk melalui pintu buntut, injak pepadun melalui pintu lapang agung dan injak penyimbang marga melalui pintu arob.
• Untuk tamu yang berasal dari kebuayan lain jika ingin ikut maka mereka langsung saja bergabung dengan salah satu muli meranai kampung yang melaksanakan gawi.
• Kemudian dilakukan nitik canang oleh raja/wakilnya menandakan acara canggot agung sudah dimulai dan berlaku segala hukum adat.
• Setelah nitik canang dilakukan pisaan muli meranai yang diawali oleh muli meranai dari dalam kampung dan dilanjutkan oleh muli meranai diluar marga. Pangkal pisaan yang diberi judul “muli hares” atau muli hadir.
• Setelah pisaan muli meranai berkumpul dilanjutkan dengan acara setumbukan/nari berturut-turut injak batin, injak pepadun dan injak penyimbang marga laki-laki dengan laki-laki kemudian perwakilan marga akan membagi-bagikan mereka duit (dalam amplop) yang besarannya sesuai kesepakatan sebelumnya.
• Dilanjutkan dengan nitik canang adok muli meranai yang melaksanakan gawi.
• Nyetar atau menyiapkan hidangan makan dan dilanjutkan dengan pisaan muli meranai dengan pangkal pisaan “Nyelah yang” artinya mengajak makan.
• Betekos membereskan perlengkapan setelah makan.
• Pisaan kembali dengan pangkal pisaan “Bundoran” menandakan canggot agung hampir selesai.
• Setelah pisaan maka raja/wakilnya dari yang melaksanakan gawi nitik canang yang menjelaskan bahwa canggot agung muli meranai sudah selesai dan peserta canggot agung muli meranai diantarkan pulang ke rumahnya masing-masing.

b. Canggot agung Perawatin
• Setelah canggot agung muli meranai selesai maka dilanjutkan dengan Canggot perawatin. Canggot perawati diawali dengan serak sepi muli meranai sai begawi.Yang melakukan serak sepi adalah lebu atau kelama atau jika tidak ada dapat diwakilkan oleh pengelaku.
• Kegiatan dalam canggot perawatin ini adalah setumbukan /nigol, negak ko penjarau, nurun ko atau ngedebah ko pilangan perawatin (prosesnya sama dengan nurun ko muli meranai). Jika begawi ini ikut dengan raja maka ngedebahko pilangan penyimbang merga langsung naik pepadun.
• Kemudian melakukan setumbukan yaitu perawatin yang berada didalam kamar/bilik masing-masing keluar ke lapangan upacara untuk kemudian melakukan nigol setumbukan dibelakang pepadunnya masing-masing. Setelah melakukan nigol maka bendahara dari masing-masing raja membagi-bagikan amplop (uang nigol).
• Selanjutnya yang begawi menaiki pepadun dan melakukan tigol sebanyak 3 kali. Kemudian bendahara membagi-bagikan uang nigol kembali.
• Setelah yang melaksanakan gawi menaiki pepadun tersebut dilanjutkan dengan acara “minjak ngongkop” yaitu semua penyimbang marga bangun dan melakukan nigol dilanjutkan dengan pembagian uang tigol oleh bendahara yang melakukan gawi adat.
• Dilanjutkan dengan Nyetar yaitu menyiapkan hidangan kemudian dilanjutkan dengan tari sabai.
• Kemudian dilanjutkan dengan nitik canang pemberian adok/gelar penyimbang yang melakukan gawi kemudian raja atau yang mewakili memberi gelar orang-orang yang ikut begawi.
• Terakhir adalah do’a dan makan-makan.

3. Canggot conggong
Canggot conggong sama dengan canggot matah, peserta canggot tidak diharuskan datang. Pada acara ini muli meranai nganik conggong (makan buntut kerbau) dan yang melaksanakan gawi mengucapkan terima kasih. Yang menjadi catatan adalah kerbau yang digunakan atau dipotong untuk acara gawi maka pada saat pemotongan/penyembelihannya harus didepan penyimbang marga dan pengelakunya. Sebagian dari daging kerbau tersebut diberikan kepada penyimbang-penyimbang pepadun tiap-tiap kampung yang diberi istilah bagi-bagi balung. Kerbau yang dipotong untuk gawi tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu kepala untuk bakbai/ibu-ibu, badannya untuk penyimbang pada saat canggot agung dan conggongnya untuk muli meranai pada saat canggot conggong.


D. Hal-hal yang dapat dikenai denda/sanksi pada saat prosesi adat sedang berlangsung
Dalam adat atau prosesi adat lampung khususnya dilima kebuayan terdapat aturan-aturan yang jika terjadi akan mendapatkan sanksi/denda. Peraturan-peraturan tersebut dikenal dengan istilah Silip 8, Ugi-ugi 12, Cempala 24.
Ketiga istilah diatas adalah peraturan perundang-undangan adat ketika kita kita sedang pecundak/sedang melaksanakan adat.
1. Silip 8 ; jika yang menyemarkan adat atau melakukan kesalahan adalah seseorang yang statusnya masih debawah pepadun/anak pepadun.
2. Cempala 12 dan ugi-ugi 24 adalah jika yang melakukan kesalahan adalah seorang sutan.
Misal seorang sutan mempunyai saudara laki-laki 2 orang jika mreka melakukan kesalahan maka sutan tersebutlah yang bertanggung jawab.

Contoh dari larangan tersebut adalah duduk berdekan dengan lain jenis yang bukan istri/keluarganya, menyenggol pagar adat (tempat pelaksanaan canggot) dan suami istri bercerai. Jika pelanggaran tersebut terjadi maka orang yang melakukan kesalahan tersebut dikenai denda atau untuk membersihkan pepadunya yaitu dengan melakukan/ikut begawi bersih pepadun.

2. HIRARKI KEDUDUKAN DALAM ADAT

Dalam adat 5 (lima) kebuayan tata urutan gelar adat mulai dari yang tingkat bawah hingga tingkat atas adalah :
1. Saka-saka ; gelar yang dipakai Minak/batin
2. Jempana Pati Kuning ; Puan/Rajo
3. Penyimbang Pepadun/Tiuh ; Sutan/Raja
4. Tongkok Penyimbang Marga ; Pangeran, Ngedika, Tuan
5. Penyimbang Marga (Pemimpin marga).

Penyimbang Marga adalah Seorang tetua adat yang menguasai suatu wilayah kampung atau marga/kebuayan. Penyimbang Marga merupakan urutan teratas dalam urusan adat lampung di 5 (lima) kebuayan, tanpa penyimbang marga segala urusan adat tidak dapat diputuskan/dilaksanakan artinya segala urusan adat merupakan wewenang penyimbang marganya masing-masing. Dibawah penyimbang marga terdapat tongkok penyimbang marga dan penyimbang pepadun/penyimbang tiuh yang dapat dikatakan wakil dari penyimbang marga. Penyimbang tiuh dan tongkok penyimbang marga sudah dapat memutuskan urusan anak buah mereka (saka-saka dan jempana pati kuning) hanya saja harus tetap berkoordinasi/laporan dengan penyimbang marga. Misalnya seorang sutan ingin memberikan gelar kepada keponakannya maka sudah dapat memberikan gelar itu dengan syarat sudah melapor kepada penyimbang marganya. Jika seorang penyimbang pepadun yang mempunyai gelar sutan/raja kemudian ingin menjadi tongkok penyimbang marga yang mempunyai gelar pangeran adat ngendika maka orang tersebut harus melaksanakan/mengikuti gawi adat.


E. Syarat Menjadi Penyimbang Pepadun/penyimbang tiuh
Jika seseorang ingin menjadi penyimbang pepadun/tiuh syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah :
a. Semua penyimbang marga di lima kebuayan setuju serta memenuhi syarat-syarat begawi.
b. Membayar bia/biaya kepada tokoh adatnya masing-masing senilai 24
c. Memotong 2 ekor kerbau (1 untuk pasua dan 1 untuk naik pepadun)sepertemuan tigol kepada penyimbang-penyimbang yang datang dengan penumbukan tari tigol yang besaranya sesuai keputusan begawi.
d. Melakukan prosesi begawi seperti canggot agung, pangan muli meranai, serak sepi sepi haga cakak pepadun, negakko pejarau di halaman tempat tari tigol. Menurunkan pepadun dari rumah masing-masing kehalaman tempat tari tigol. Memberi uang kepada penari tigol pada saat mau cakak pepadun.
Masyarakat Lampung sebelum mendapat pengaruh peradaban dari luar seperti India (Hindu Budha) sudah mengenal semacam pemerintahan demokratis dengan bentuk marga. Di dalam pemerintahan marga terdapat kelengkapan fisik berupa sesat, yaitu rumah besar yang berfungsi untuk tempat berunding (Alf, 1954: 5). Menurut Ahmad Kesuma Yudha dengan mengacu pada pendapat J.W. Naarding (Yudha, 1996: 3), pemerintahan marga dikenal setelah kerajaan Tulang Bawang punah. Kekosongan pemerintahan ini dimanfaatkan Sriwijaya menguasai Lampung dan memperkenalkan sistem pemerintahan adat marga. Sistem ini berlangsung terus hingga kemudian Banten menguasainya

Pepadun
Prosesi PEPADUN diyakini berasal dari Banten, Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, berinteraksi dengan dunia luar sejak awal abad Masehi. Kemungkinan pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan sebagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513. Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar

Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Lampung sebagai daerah penghasil rempah-rempah dan karet memiliki pelabuhan sungai yang besar di muara Teladas didukung oleh pelabuhan-pelabuhan kecil di daerah hulu sungai seperti di Segara Mider (di hulu sungai Umpu) dan Gedung Batin (di Hulu Sungai Besay).
Lampung pada saat itu yang baru saja memiliki pemerintahan lintas marga, belum memiliki sistem pertahanan yang kuat. Melalui hubungan diplomasi perdagangan dengan Banten dan penyebaran islam dari Banten yang diterima dengan damai dan terbuka inilah yang mendorong bergabungnya lampung dengan sistem pemerintahan Banten. Pengesahan Raja-Raja lokal atau Buay dan Marga dilakukan melalui Prosesi Pepadun yang dalam bahasa Banten disebut Madoni, yang dalam bahasa Islam disebut Madani atau pemerintahan Rakyat. Dengan demikian maksud dari Prosesi Anugerah Gelar Adat melalui Prosesi Pepadun adalah meneruskan pemerintahan Madani Atau Pemerintahan Rakyat.

Sistem Pemerintahan
Masyarakat Lampung secara tradisional memiliki sistem pemerintahan sendiri yang disebut keratuan. Sistem pemerintahan ini diperkirakan berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Tulangbawang atau pada masa Kerajaan Sriwijaya. Ketika Kesultanan Palembang menguasai sebagian besar Sumatera, terbentuk sistem pemerintahan marga. Di Lampung sistem marga tetap berlangsung hingga masa kekuasaan Kesultanan Banten.

Pada masa pemerintahan keratuan pusat pemukiman cenderung berada di tepi anak sungai sedangkan desa yang merupakan pemukiman lebih kecil berada di tepian sungai besar. Model pemukiman ibukota keratuan dikelilingi benteng tanah dan parit. Pada pemukiman tersebut dilengkapi bangunan suci untuk kepentingan religi.

Pada sistem pemerintahan marga terdapat pemukiman ketemenggungan dan desa. Ketemenggungan merupakan pusat pemerintahan setingkat di bawah kesultanan. Di Lampung pemukiman ketemenggungan terdapat di hulu Way Tulangbawang. Pemukiman itu disebut Benteng Minak Temenggung. Keberadaan pada hulu sungai besar dekat dengan pertemuan dua sungai sangat strategis karena menunjang pola distribusi yang bermanfaat bagi keberlangsungan pemukiman tersebut.

Pada sepanjang sungai besar yang berada di wilayah hulu ketemenggungan dijumpai kampung-kampung sebagai pemukiman setingkat marga. Kampung tersebut dibatasi benteng tanah dan parit atau sungai alam. Unsur penting dalam pemukiman marga adalah makam tokoh utama. Keberadaan makam tokoh utama untuk memenuhi fungsi religi yang secara substansial berhubungan dengan pemujaan kepada arwah leluhur.

Umbulan sebagai permukiman terkecil biasanya berada di tepi anak sungai. Areal umbulan ada yang dibatasi benteng tanah dan parit, ada pula yang tidak berbenteng. Berdasarkan artefak yang terdeposisikan di situs umbulan, aktivitas masyarakat penghuninya juga beragam.

Asal-Usul Ulun Lampung
Oleh: Master plan universitas lampung
budaya, sejarah
ASAL-usul ulun Lampung (orang Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri, walaupun nama Lampung itu mungkin sekali baru dipakai lebih kemudian daripada mereka memasuki daerah Lampung.
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul (nama) ulun Lampung:
Pertama, dari catatan musafir Cina yang pernah mengunjungi Indonesia pada abad VII, yaitu I Tsing, yang diperkuat oleh teori yang dikemukan Hilman Hadikusuma, disebutkan bahwa Lampung itu berasal dari kata To-lang-po-hwang. To berarti orang dalam bahasa Toraja, sedangkan Lang-po-hwang kepanjangan dari Lampung. Jadi, To-lang-po-hwang berarti orang Lampung.
Kedua, Dr. R. Boesma dalam bukunya, De Lampungsche Districten (1916) menyebutkan, Tuhan menurunkan orang pertama di bumi bernama Sang Dewa Sanembahan dan Widodari Simuhun. Mereka inilah yang menurunkan Si Jawa (Ratu Majapahit), Si Pasundayang (Ratu Pajajaran), dan Si Lampung (Ratu Balau). Dari kata inilah nama Lampung berasal.
Ketiga, legenda daerah Tapanuli menyeritakan, zaman dahulu meletus gunung berapi yang menimbulkan Danau Toba. Ketika gunung itu meletus, ada empat orang bersaudara berusaha menyelamatkan diri. Salah satu dari empat saudara itu bernama Ompung Silamponga, terdampar di Krui, Lampung Barat. Ompung Silamponga kemudian naik ke dataran tinggi Belalau atau Sekalabrak.
Dari atas bukit itu, terhampar pemandangan luas dan menawan hati seperti daerah yang terapung. Dengan perasaan kagum, lalu Ompung Silamponga meneriakkan kata, “Lappung” (berasal dari bahasa Tapanuli kuno yang berarti terapung atau luas).
Dari kata inilah timbul nama Lampung. Ada juga yang berpendapat nama Lampung berasal dari nama Ompung Silamponga itu.
Keempat, teori Hilman Hadikusuma yang mengutip cerita rakyat. Ulun Lampung berasal dari Sekalabrak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya disebut Tumi (Buay Tumi) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekarmong. Mereka menganut kepercayaan dinamis, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa.
Buai Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Nyerupa, Umpu Lapah di Way, Umpu Pernong, dan Umpu Belunguh. Keempat umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti. Namun dalam versi buku Kuntara Raja Niti, nama poyang itu adalah Inder Gajah, Pak Lang, Sikin, Belunguh, dan Indarwati.
Berdasarkan Kuntara Raja Niti, Hilman Hadikusuma menyusun hipotesis keturunan ulun Lampung sebagai berikut:

Inder Gajah
Gelar: Umpu Lapah di Way
Kedudukan: Puncak
Keturunan: Orang Abung

Pak Lang
Gelar: Umpu Pernong
Kedudukan: Hanibung
Keturunan: Orang Pubian

Sikin
Gelar: Umpu Nyerupa
Kedudukan: Sukau
Keturunan: Jelma Daya

Belunguh
Gelar: Umpu Belunguh
Kedudukan: Kenali
Keturunan: Peminggir

Indarwati
Gelar: Puteri Bulan
Kedudukan: Ganggiring
Keturunan: Tulangbawang
Kelima, penelitian siswa Sekolah Thawalib Padang Panjang pada tahun 1938 tentang asal-usul ulun Lampung. Dalam cerita Cindur Mato yang berhubungan juga dengan cerita rakyat di Lampung disebutkan bahwa suatu ketika Pagaruyung diserang musuh dari India. Penduduk mengalami kekalahan karena musuh telah menggunakan senjata dari besi. Sedangkan rakyat masih menggunakan alat dari nibung (ruyung).
Kemudian mereka melarikan diri. Ada yang malalui Sungai Rokan, sebagian melalui dan terdampar di hulu Sungai Ketaun di Bengkulu lalu menurunkan Suku Rejang. Yang lari ke utara menurunkan Suku Batak. Yang terdampar di Gowa, Sulawesi Selatan menurunkan Suku Bugis. Sedangkan yang terdampai di Krui, lalu menyebar di dataran tinggi Sekalabrak, Lampung Barat. Mereka inilah yang menurunkan Suku Lampung.


Berdasarkan adat istiadatnya, penduduk suku Lampung terbagi ke dalam dua golongan besar, yakni masyarakat Lampung beradat Pepadun dan masyarakat Lampung beradat Saibatin atau Peminggir.

Suku Lampung beradat Pepadun secara lebih terperinci dapat di golongkan ke dalam; (a) Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga), terdiri atas: Buai Nunyai, Buai Unyi, Buai Nuban, Buai Subing, Buai Beliuk, Buai Kunang, Buai Selagai, Buai Anak Tuha dan Buai Nyerupa. (b) Megou Pak Tulangbawang (Empat Marga Tulangbawang), terdiri dari: Buai Bolan, Buai Umpu, Buai Tegamoan, Buai Ali. (c) Buai Lima (Way Kanan/Sungkai), terdiri dari: Buai Pemuka, Buai Bahuga, Buai Semenguk, Buai Baradatu, Buai Barasakti. (d) Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku), terdiri dari Buai Manyarakat, Buai Tamba Pupus, dan Buai Buku Jadi.
Diperkirakan bahwa yang pertama kali mendirikan adat Pepadun adalah masyarakat Abung yang ada disekitar abad ke 17 masehi di zaman seba Banten. Pada abad ke 18 masehi, adat Pepadun berkembang pula di daerah Way Kanan, Tulang Bawang dan Way Seputih (Pubian). Kemudian pada permulaan abad ke 19 masehi, adat Pepadun disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-kebuaian tambahan (gabungan). Bentuk-bentuk penyempurnaan itu melahirkan apa yang dinamakan Abung Siwou Migou (Abung Siwo Mego), Megou Pak Tulang Bawang dan Pubian Telu Suku.
Masyarakat yang menganut adat tidak Pepadun, yakni yang melaksanakan adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Karena mereka sebagian besar berdiam di tepi pantai, maka di sebut adat Pesisir. Suku Lampung beradat Saibatin (Peminggir) secara garis besarnya terdiri atas: Masyarakat adat Peminggir, Melinting Rajabasa, masyarakat adat Peminggir Teluk, masyarakat adat Peminggir Semangka, masyarakat adat Peminggir Skala Brak dan masyarakat adat Peminggir Komering. Masyarakat adat Peminggir ini sukar untuk diperinci sebagaimana masyarakat Pepadun, sebab di setiap daerah kebatinan terlalu banyak campuran asal keturunannya.
Bila di lihat dari penyebaran masyarakatnya, daerah adat dapat dibedakan bahwa daerah adat Pepadun berada di antara Kota Tanjungkarang sampai Giham (Belambangan Umpu), Way Kanan menurut rel kereta api, pantai laut Jawa sampai Bukit Barisan sebelah barat. Sedangkan daerah adat Peminggir ada di sepanjang pantai selatan hingga ke barat dan ke utara sampai ke Way Komering.



Blognya mahasiswa lampung UNJTop of Form
SISTEMATIKA PIIL PESENGGIRI
November 26, 2010 pukul 2:31 am | Ditulis dalam Uncategorized | 2 Komentar 
I.Unsur Piil Pesenggiri

Ada dua sumber rumusan falsafah Piil Pesenggiri, yang pertama dari sub etnis Lampung Pepadun, yang kedua dari sub etnis Lampung Saibatin (Peminggir) tetapi kedua sumber ini sangat mudah dikompromikan, karena unsur keduanya adalah sama. Piil Pesenggiri dari sumber pertama yaitu sebagai berikut:
1.Piil Pesenggiri
2.Bejuluk Beadek
3.Nemui Nyimah
4.Nengah Nyappur
5.Sakai Sambaian

Sedangkan sumber yang kedua adalah:
1.Khepot delom mufakat
2.Tetengah tetanggah
3.Bapuidak Wayu
4.Khopkhama delom bekekhja
5.Bupiil Bupesenggiri
II.Butir-Butir Piil Pesenggiri
1.Sopan Santun

Sopan santun adalah merupakan simpul bebas dari dua unsur Piil Pesenggiri yang berbunyi Nemui Nyimah dan Bepuidak Waya. Nemui Nyimah secara etimologi adalah menghormati tamu, sedangkan Bepuidak Waya berarti bermanis muka. Keduanya digabung menjadi “sopan santun” sehingga unsure sopan santun dapat diuraikan menjadi butir-butir yang lebih detail lagi. Dalam unsur menghormati tamu, maka seseorang itu selain harus berprilaku baik, masyarakat Lampung lazimnya memberikan panganan dan minuman, sehingga yang terselubung dalam prinsip Nemui Nyimah ini juga dalah kepemilikan. Hal ini memungkinkan untuk menyuguhi tamu tersebut, dengan kata lain seseorang harus berketerampilan, berpenghasilan, dengan kata lain berproduksi. Sedangkan Bapuidak Waya bermakna sopan santun, seperti yang telah diuraikan di atas adalah keterampilan, produksi, dan penghasilan serta kepemilikan, dimaksudkan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia banyak. Yaitu sebagai perwujudan dari Bapuidak Waya serta pemberi seperti yang ditentukan Piil Pesenggiri. Sebagai yang diyakini bahwa pemberi akan lebih mulia dari pada penerima. Dengan demikian sopan santun di sini selain diartikan sebagai tatakrama juga memiliki makna sosial, seperti tergambar dalam butir-butir sebagai berikut:
Berprilaku baik
Berilmu
Berketerampilan
Berpenghasilan
Berproduksi
Menjadi Pelayan Masyarakat
2.Pandai Bergaul

Pandai bergaul ini adalah merupakan simpul bebas dari Nengah Nyappur dan Tetengah Tetanggah. Kata-kata Nengah Nyappur dan Tetengah Tetanggah itu sendiri juga bermakna sanggup terjun ke gelanggang. Tentu saja bermodalkan sopan dalam arti memahami segala hak dan kewajiban. Santun dalam artian siap menjadi pihak pemberi, maka seseorang sebagaimana ditintut oleh Nengah Nyappur dan Tetengah Tetenggah, harus menjadi orang yang supel, memiliki tenggang rasa yang tinggi, tetapi tidak melupakan prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam hidupnya, sebagai identitas diri. Dengan demikian maka seseorang dituntut untuk:
Supel
Tenggang rasa
Berprinsip
Kaya ide
Bercita-cita tinggi
Mampu berkomunikasi
Mampu bersaing
3.Tolong Menolong

Tolong menolong merupakan simpul bebas dari kata-kata Sakai Sambaian dan Khepot delom mufakat. Sakai Sambaian lebih tepat diterjemahkan menjadi bersatu dan mufakat. Sehingga tolong menolong di sini mempunyai makna yang sangat luas, yaitu makna yang dituntut Piil Pesenggiri yang terkandung dalam Sakai Sambaian dan Khepot delom mufakat. Tolong menolong dalam versi Sakai Sambaian akan bermakna kerja sama yang saling menguntungkan. Sedangkan tolong menolong dalam versi Khepot delom mufakat memiliki makna yang jelas sekali untuk menjaga kesatuan dan persatuan. Dengan demikian maka berarti butir-butir menolong ini sangat luas sekali, antara lain meliputi:
Mampu menjadi pemersatu
Memiliki modal (kapital)
Memiliki sarana dan prasarana
Mampu bekerjasama
Dapat dipercaya
Mampu mengambil keuntungan
4.Kerja Keras/ Prestise

Kerja keras dan prestise merupakan terjemahan dari kata Khopkhama delom bekekhja dan bejuluk beadek. Khopkhama delom bekekhja bekerja keras dan bejuluk beadek berarti gelar atau prestise. Seseorang dituntut bekerja keras untuk mencapai hasil guna memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya maupun orang lain. Prestise-prestise yang dimaksudkan oleh bejuluk beadek adalah suatu yang otomatis didapatkan seseorang manakala seseorang itu telah mencapai hasil kerja yang maksimal.
Sehingga kerja keras dan prestasi kerja melingkupi butir-butir sebagai berikut:
Memahami kebutuhan diri dan kebutuhan masyarakat
Mampu menyerap skill pemimpin
Pantas dijadikan panutan
Berprinsip dan harga diri
Prinsip dan harga diri adalah merupakan terjemahan dari kata-kata Piil Pesenggiri atau Bupiil Bupesenggiri. Baik prinsip maupun harga diri yang dimaksudkan di sini sebenarnya menurut para pengamat adalah merupakan penegasan dari unsur-unsur Piil Pesenggiri yang telah diuraikan terdahulu. Uraian-uraian sebelumnia itulah prinsip masyarakat Lampung dan itu pulalah harga diri.

Setelah diuraikan lengkap dengan butir-butir Piil Pesenggiri maka dapat dilihat adanya unsur yang pokok dalam butir tersebut, yaitu:
1.Prestise
2.Prestasi
3.Kehormatan
4.Menghormati tamu
5.Kerja keras
6.Kerjasama
7.Produktif
8.Persamaan dan daya saing
9.Keuntungan
Kesembilan unsur pokok ini adalah merupakan prinsip pokok Piil Pesenggiri, jadi merupakan falsafah kehidupan masyarakat Lampung.

Sumber: http://nurmanali.blogspot.com/

1 komentar:

  1. Thank you hopefully many who visit this blog, content of blogs in the development of this highly innovative and very worthy to be published so that many who read it.

    BalasHapus